top of page
Search

Obituari

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Feb 10, 2022
  • 2 min read

Di obituarimu, kamu ingin ditulis sebagai apa?


Itulah yang saya tuliskan di kolom kesan dan pesan buku tahunan SMA saya. Bagi kamu yang pernah membaca koran, kemungkinan besar pasti pernah membaca obituari. Pendeknya, obituari adalah pengisahan orang yang baru meninggal oleh orang lain, biasanya keluarga atau kawan dekat. Mereka yang obituarinya dimuat di koran biasanya dikenang sebagai orang tua atau kakek nenek, karena memang yang mengirim obituari adalah anak atau cucu mereka.


Tapi, saya jadi kepikiran. Apa jadinya kalau saya mati sekarang dan kamu yang menulis obituari saya? Saya akan kamu tulis sebagai apa?


Menulis obituari diri sendiri agaknya menjadi cara yang cukup mudah untuk merefleksikan diri. Namun, mudah atau tidaknya memutuskan akan menulis diri kita sebagai apa, itu urusan lain. Memangnya, kita harusnya ingin dikenang sebagai apa?


Seperti manusia pada umumnya, kita hidup di tengah-tengah irisan sosial dan memiliki peran yang berbeda-beda di setiap lingkungan sosial itu. Kita didefinisikan sebagai anak di lingkungan keluarga, kita menjadi murid di lingkungan sekolah, kita akan dikenang sebagai kolega di tempat kerja, dan seterusnya dan seterusnya. Kita adalah makhluk yang tidak one dimensional, jadi memang akan sangat sulit untuk menempelkan satu identitas saja pada diri kita yang kompleks ini.


Mungkin ada orang yang ingin dikenang sebagai orang kaya, orang berjasa, dan lain-lain. Tetapi aku yakin kehidupan mereka jauh lebih luas dari itu. Definisi mereka sebagai orang kaya akan luntur di hadapan orang yang lebih kaya. Pun demikian dengan orang yang lebih berjasa. Dan seterusnya, dan seterusnya.


Beberapa orang memiliki preferensi khusus untuk dikenang sebagai apa dalam obituari mereka. Farid Stevy, misalnya. Seniman kenamaan dari Jogja itu mengungkapkan di sebuah wawancara bahwa dirinya ingin dikenang sebagai guru. Sedangkan saya? Bagaimana bisa dikenang sebagai guru? Mencapai taraf bodoh saja belum.


Pilihan yang paling umum tapi belum tentu paling mudah, sepertinya ingin dikenang sebagai orang baik. Tapi menjadi orang baik ini parameternya seperti apa? Dan baik menurut parameter siapa? Hal ini menjadi rumit karena "baik" adalah standar kita di mata orang lain. Kita tidak bisa memproklamirkan diri sendiri sebagai orang baik ketika tidak mendapat validasi dari orang lain bahwa kita sebaik yang kita klaim.


Pilihan generik lainnya adalah untuk sesederhana dikenang sebagai manusia. Edgy memang, tapi ini pilihan yang saya rasa cukup aman. Manusia. Tanpa embel-embel adjektiva. Bukan manusia yang welas asih, namun bukan manusia jahat pula. Ya, manusia begitu saja.


Hmmmm... sampai sekarang pun, aku belum memutuskan mau dikenang sebagai apa di obituariku. Sepertinya angkuh sekali untuk memikirkan bahwa jika nanti aku mati masih ada yang mengenang. Ya, pastinya saya berharap begitu. Tapi bukankah pada akhirnya kita cuma debu semesta yang akan dilupakan oleh zaman? Aduh.


Kalau kamu, kamu ingin ditulis sebagai apa di obituarimu?

 
 
 

Comments


bottom of page