top of page
Search

Validasi.

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Jan 31, 2022
  • 3 min read

Sebagai manusia, salah satu motif kita dalam melakukan sesuatu adalah untuk mencari pengakuan dari orang lain. Sering kali, kita melakukan hal A, berperilaku seperti B, atau membeli barang C hanya untuk mendapatkan pengakuan yang disematkan oleh orang lain. Jika dipikir-pikir, banyak sekali hal-hal yang kita lakukan semata-mata untuk mendapat pengakuan akan diri kita.


Pengakuan ini biasanya muncul bersamaan dengan label yang ikut disematkan kepada kita. Kita hanya akan mendapat pengakuan bahwa kita kaya setelah membeli barang tertentu, kita hanya akan mendapat pengakuan bahwa kita pintar setelah masuk sekolah tertentu, kita hanya akan diakui sukses setelah bisa mencapai jabatan tertentu, dan sebagainya.


Tentu, akan munafik bagiku untuk mengatakan bahwa aku terhindar dari kebutuhan mencari validasi itu sendiri. Blog ini adalah bukti bahwa aku masih membutuhkan validasi dari kalian, para pembaca, mengenai kemampuan menulisku. Blog ini lahir dari rasa insecure yang aku miliki ketika melihat kawan-kawanku bisa mengaktualisasikan diri mereka dengan bermain musik, olah raga, touring, mendaki gunung, pokoknya hal-hal keren yang aku tidak bisa. Aku membutuhkan suatu alasan agar kemampuanku bisa diakui. Kebutuhan itu ada. Blog ini adalah buktinya.


Sebagaimana aku menulis blog ini untuk mendapat pengakuan bahwa aku mampu menulis, aku juga aktif berdiskusi dalam kelas-kelas yang aku ikuti untuk mendapat validasi bahwa aku mahasiswa yang baik. Aku menyapa dan tersenyum kepada orang lain untuk mendapatkan validasi bahwa aku orang yang ramah. Aku menyapu halaman setiap paginya untuk mendapatkan validasi bahwa aku anak yang berbakti. Dan seterusnya, dan seterusnya.


Agak memuakkan memang, ketika niat kita melakukan sesuatu ternyata tidak didasarkan pada kedaulatan pilihan kita sendiri, melainkan karena suatu dorongan untuk diakui oleh orang lain. Sebagai contoh kasar, aku tidak punya pilihan lain selain untuk menyapa balik orang yang menyapaku, atau aku akan dilabeli sebagai orang yang tidak ramah. Sekali lagi, motifku adalah ketakutan akan label tidak ramah apabila tidak membalas sapaannya. Let that sink in.


Sayangnya, validasi ini ditentukan oleh orang lain. Mau sekeras apapun aku berusaha untuk menulis di blog ini, ketika orang lain memutuskan untuk menilai bahwa tulisanku jelek, maka aku tidak akan mendapat validasi bahwa aku mampu menulis dengan baik. Mau sekeras apapun kamu berusaha, ketika orang lain memutuskan untuk tidak memberimu pengakuan, maka....yah, kamu tidak mendapat validasi yang menjadi motif awalmu berusaha.


Ini yang jadi masalah. Kita menginginkan suatu bentuk pengakuan dari orang lain, sedangkan kita tidak bisa mengatur pikiran dan perbuatan orang lain terhadap kita. Kita tidak punya kontrol atas perilaku orang lain, yang, sialnya, menjadi sumber pengakuan yang kita butuhkan. Beberapa kawanku sempat bercerita tentang mereka yang masih dianggap bodoh meski sudah berusaha belajar, masih dianggap gagal meski sudah berusaha bangkit, masih dianggap kurang meskipun sudah mencoba menjadi lebih.


Bagiku, poinnya bukan terletak pada seberapa keras kita mencoba, melainkan lebih kepada pengakuan siapa yang kita butuhkan. Sebagai contoh, aku membutuhkan pengakuan dari dosen bahwa aku sudah belajar dan menguasai materi. Maka, aku menjawab pertanyaan yang diajukannya di kelas. Urusan apakah nanti ada kawan sekelasku yang tidak memberi pengakuan bahwa aku sudah menguasai materi, karena memiliki jawaban yang berbeda, misalnya, aku sudah tidak peduli. Dalam contoh ini, yang aku butuhkan adalah pengakuan dari dosenku, dan bukan mereka.


Contoh lain, ada banyak orang yang mengeluh bahwa mereka merasa tidak cantik atau tampan karena foto yang mereka unggah di instagram tidak mendapat jumlah like yang mereka inginkan. Jika mereka mengukur kecantikan atau ketampanan dari pengakuan followers instagram, mereka akan merasa buruk rupa ketika jumlah like yang mereka dapatkan berada di bawah ekspektasi mereka. Lain halnya apabila mereka mendasarkan parameter cantik dan tampan ini dari like beberapa akun tertentu yang mereka anggap penting. Berapapun jumlah like yang mereka dapat, asalkan akun-akun penting itu sudah memberikan like, itu sudah cukup.


Kita tidak bisa memaksa semua orang untuk mengakui kita, namun kita bisa mengatur pengakuan siapa saja yang kita anggap penting.


Premis permasalahan di atas ada karena sedari awal kita sudah beranggapan bahwa validasi bersumber dari orang lain. Padahal, akan lebih baik bagi kita apabila kita bisa meraih kemerdekaan dengan memutuskan bahwa satu-satunya validasi yang kita butuhkan adalah dari diri kita sendiri. Dari hati nurani kita sendiri. Oke, aku menulis blog ini untuk mendapatkan pengakuan bahwa aku mampu menghasilkan tulisan-tulisan yang, setidaknya, bagus. Bagus bagi siapa? Bagi diriku sendiri. Jika aku puas dengan tulisanku, maka aku puas dengan tulisanku. Persetan omongan orang lain. Toh, aku tidak bersedih saat tulisanku hanya dibaca satu atau dua orang saja. Kualitasku tidak ditentukan oleh pengakuan yang aku terima.


Karena aku percaya, satu-satunya pengakuan yang aku butuhkan adalah dari diriku sendiri.



 
 
 

Comments


bottom of page