Kita Tidak Akan Jadi Apa-apa, dan Itu Tidak Apa-apa
- Pambayung
- Jan 30, 2022
- 3 min read
Sebagai manusia, kita selalu dituntut untuk memenuhi ekspektasi, bahkan melebihinya. "Kamu jadi ini ya", "Kamu nanti harus begitu, ya", dan sebagainya. Mimpi-mimpi ini sering diinjeksikan kepada pikiran anak-anak, ironisnya oleh orang tua-orang tua yang gagal jadi ini dan jadi begitu. Kebanyakan dari kita dituntut untuk menjadi apa-apa, oleh orang yang bukan siapa-siapa. Maka, tak salah jika waktu kecil dulu kita bermimpi untuk menjadi orang terkaya di dunia, orang pertama yang mencapai Saturnus, atau menguasai alam semesta seperti para penjahat di serial Power Rangers kesukaan kita.
Eksistensi ekspektasi-ekspektasi yang dibebankan kepada kita, tanpa kita sadari, justru memagari diri kita dan sangat mempengaruhi parameter definisi sukses yang kita miliki. Berbahagialah kalian yang dibebaskan untuk memilih jalan hidup masing-masing, karena di luar sana aku yakin (dan tahu) bahwa masih banyak sekali kalimat-kalimat "Kalau kamu tidak melakukan A atau menjadi X, kamu adalah orang yang gagal". Berbahagialah kalian yang sudah memiliki kedaulatan untuk menentukan standar kesuksesan kalian tanpa embel-embel harus menjadi siapa-siapa, tanpa ekspektasi menjadi apa-apa.
Karena oh karena, mereka yang selalu dituntut untuk menjadi sesuatu, cenderung tidak diizinkan untuk gagal. Kegagalan dilihat sebagai pembangkangan terhadap perintah untuk menjadi sukses. Percayalah, saya kenal seseorang yang dimarahi oleh orang tuanya karena mendapat ranking tiga di sekolah. "Mama maunya kamu ranking satu." Waduh. Repot. Maka, bisa kita lihat, ekspektasi dan mimpi-mimpi utopis yang tidak sehat akan mengantarkan kepada standar-standar dan parameter kesuksesan yang tidak sehat pula.
Oke, izinkan aku untuk menarik kalian dari mimpi-mimpi utopis kalian, dan memperkenalkan konsep positive nihilism yang selama ini membantuku untuk bertahan dengan aneka kegagalan. Oke, tolong baca baik-baik: kamu bukan siapa-siapa. Dunia akan tetap berputar dengan ada atau tidaknya kamu. Masyarakat punya ribuan orang untuk menggantikan posisimu saat ini. Kamu tidak akan menjadi orang sekaya Jeff Bezos, tidak akan menjadi orang seberpengaruh Kim Jong Un, tidak akan menjadi orang sepandai Edison. Tulisanmu tidak akan sepopuler Poe atau Hemingway, lagumu tidak akan sebagus The Beatles, dan kamu tidak akan membuka toko roti terbaik seantero negeri yang kamu cita-citakan dari kecil. Tapi itu semua tidak apa-apa.
Memang benar Bung Karno menyuruh kita untuk bermimpi setinggi langit, karena jika kita jatuh pun kita masih ada di antara bintang-bintang. Tapi tidak semua orang memiliki kesempatan untuk jatuh di antara bintang-bintang. The chances are, kalau kamu sekarang sedang membaca tulisan ini, kamu tidak akan menjadi orang superkaya seperti Bezos atau Zuckerberg. Karena orang sekaliber mereka pasti tidak punya waktu untuk memperhatikan blog sampah seperti ini (haha, self-deprecating joke). Kemungkinannya, sampai kita nanti mati pun, kita tidak akan jadi apa-apa. Tetapi hal tersebut manusiawi dan tidak apa-apa.
Ya, kita mungkin tidak akan bisa berada di antara bintang-bintang ketika jatuh dari mimpi kita yang setinggi langit. Tapi sebenarnya kita tidak perlu terjatuh di antara bintang-bintang. Karena sedari awal kita tidak coba menggapai mimpi kita yang setinggi langit. Karena kita tidak butuh untuk bermimpi setinggi langit. Membingungkan? Tidak apa-apa. Aku tidak membebanimu dengan ekspektasi untuk tidak bingung. Oke, sebelum kalian melabeli aku dengan cap orang yang njlimet dan suka overthinking, izinkan aku menjelaskan.
Bermimpi kecil itu tidak apa-apa. Sangat manusiawi, bahkan. Karena bermimpi tinggi itu bukanlah syarat untuk hidup. Jika parameter hidup yang baik adalah untuk bermimpi yang tinggi dan mencapainya, bagaimana dengan orang-orang yang tidak punya kesempatan untuk bermimpi? Memangnya apa standar mimpi yang tinggi? Haruskah bermimpi yang tinggi jika kita tahu tidak akan ada bintang-bintang untuk dilihat ketika jatuh?
Manusia adalah debu alam semesta. Kita sangat kerdil jika dibandingkan dengan peradaban. Setelah kita mati, kita akan dilupakan oleh sejarah. Kita insignifikan. Kita tidak penting di hadapan semesta. Terdengar mengerikan? Oh justru sebaliknya. Kita bebas memilih jalan hidup manapun tanpa takut memilih jalan yang salah, karena jalan manapun yang kita ambil, toh, tidak akan mempengaruhi dunia dalam hal apapun. Kita insignifikan. Dan insignifikansi inilah yang menjadi kekuatan kita untuk bermimpi. Sebegitu tidak pentingnya kita, jalan manapun yang kita ambil tidak akan mempengaruhi dunia. Maka kita tidak akan takut untuk memilih jalan yang salah dalam hidup. Kita tidak serta merta gagal ketika tidak menjadi orang paling kaya, paling berpengaruh, dan paling-paling lainnya. Terkadang, yang kita butuhkan adalah menjadi medioker. Karena kita memang tidak signifikan.
Coba saja, berusaha saja. Kalau gagal, toh kegagalanmu akan dilupakan sejarah. Berjuang dulu saja, toh jalan manapun yang kamu ambil tidak akan membelokkan arus dunia. Kita tidak akan bisa menghentikan pemanasan global atau mengentaskan kelaparan di Afrika, namun nihilnya ekspektasi itulah yang membuat kita lebih bebas untuk berusaha. Ketika kita meletakkan sejenak beban untuk menjadi siapa-siapa, barulah kita sadar bahwa hidup tidak pernah menuntut kita untuk menjadi apa-apa.
Justru penerimaan terhadap betapa tidak pentingnya kitalah yang akan membawa kita kepada kebebasan.
Kita tidak penting. Mimpi kita tidak penting. Justru itu. Selamat datang di positive nihilism.
Comments