top of page
Search

Apologetika Tukang Parkir: Catatan Kecil untuk Afrizal Ghani

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Oct 4, 2024
  • 4 min read


ree

Tulisan ini saya buat sebagai respons atas buah pikiran Afrizal Ghani (bisa dibaca di sini) yang mengeluhkan soal para tukang parkir ilegal. Saya tidak memiliki sedikitpun tulang kebencian di dalam tubuh saya buat si penulis maupun idenya. Tulisan ini murni dimaksudkan sebagai sarana bertukar pikiran dan pendapat.


Pertama-tama, tulisan Ghani rasanya mewakilkan banyak sekali keresahan mahasiswa miskin kota seperti saya. Betapa tidak? Uang bulanan yang tak seberapa plus gaji magang kalau ada, harus disisihkan untuk membayar parkir yang sedikit-sedikit lama-lama jadi bikin pelit. Menurutnya, pemarkir ilegal adalah pungli. Dan saya setuju akan hal ini.


Ghani juga menggarisbawahi beberapa poin krusial soal argumennya: dia mempermasalahkan parkir ilegal, bukan parkir legal yang ditemui di pusat-pusat perbelanjaan; dirinya menerangkan bahwa tiga ribu tidak akan serta-merta membuat miskin, tapi bakal jadi faktor pertimbangan untuk memutuskan apakah dia akan tetap makan di tempat yang ada parkir liarnya; ikhwal "kesungkanan" apabila tidak memberi parkir tidak boleh dinormalisasi; dan kadang ia merasa pemarkir ilegal tidak ada gunanya – mungkin itu juga yang menyebabkan ia menyifati tukang parkir sebagai "beban" dalam judul tulisan yang ia buat.


Ghani kawan saya yang baik, akan munafik sekali apabila saya mengatakan tidak pernah merasa keberatan ketika dimintai uang oleh tukang parkir sebagaimana yang engkau rasakan. Pun adalah absah ketika kamu mencurahkan pendapat di dunia maya sebab internet adalah ruang yang demokratis sehingga aku dan kamu sama-sama merdeka untuk melayangkan keluhan atas sesuatu. Kendati demikian, saya memiliki beberapa poin yang rasanya berbeda dengan sudut pandangmu. Biarkan saya menjelaskan.


Menyoal Moralitas


Ghani telah dengan sangat baik menyatakan argumen bahwa kalau kita memberi uang kepada tukang parkir, biarlah itu didasarkan pada kerelaan hati. Sebab, menurutnya, membayar tukang parkir liar kini menjadi norma. Menjadi suatu kewajiban baru. Sungkan rasanya kalau tidak dilakukan. Padahal, meminjam kata Ghani, mereka juga seringkali "tidak melakukan apa-apa". Kita menata motor sendiri, mengeluarkan sendiri, menyeberang jalan sendiri.


Namun saya memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Menurut saya, dua atau tiga ribu yang saya bayarkan adalah harga relatif untuk menjaga mereka dari ketelantaran dan kriminalitas. Saya akan jauh lebih berkenan memberikan dua atau tiga ribu kepada tukang parkir daripada, misalnya, memberikan dompet kepada begal. Untung mereka memilih menjadi pemarkir alih-alih penjahat. Saya rasa kita akan merasa jauh lebih tentram hidup di lingkungan yang banyak pemarkir daripada perampok dan pencoleng.


"Lho tapi kan bukan kewajiban kita untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka Bukankah manusia selalu punya kesadaran untuk berperilaku sesuai nilai-nilai kebajikan Harusnya "kemungkinan menjadi kriminal" tidak lantas menjelma justifikasi atas parkir liar – yang legalitasnya pun dipertanyakan. Toh akhirnya mereka punya pilihan buat jadi orang baik, kan?"


Maka sampailah saya ke poin berikutnya.


Menyoal legalitas


Ghani telah melukiskan dua jenis pemarkir, legal dan ilegal, melalui dua contoh: penjaga parkir di mall adalah pemarkir legal, sedang "orang berompi yang tiba-tiba muncul waktu kita hendak mengambil motor dari zona bertuliskan bebas parkir" adalah pemarkir ilegal.


Tapi harusnya kita lantas bertanya: legalitas itu milik siapa untuk menentukan?


Negara, yang sudah mengatur soal Pajak Parkir dalam Perda Kota Surabaya nomor 4 tahun 2011 pasal 37 dan 38, pengusaha pemilik pusat perbelanjaan yang memiliki tanah dan bangunan tempat parkir, atau masyarakat pemarkir "liar" yang mencoba bertahan hidup?


Saya ingin mengajukan postulat bahwa kita tidak bisa melihat fenomena maraknya tukang parkir liar ini sebagai fenomena dikotomis: yang liar pasti ilegal, yang di mall pasti legal. Kita justru harus bertanya mengapa demikian?


Apakah pengusaha pusat perbelanjaan yang sudah mendapat profit berlipat-lipat masih dibenarkan untuk memungut parkir "legal" yang semakin jauh menumpuk kekayaan mereka sebab mereka punya uang buat membeli ruang hidup yang digunakan sebagai tempat parkir, sedang masyarakat miskin kota yang mungkin tidak punya pilihan lain selain menjadi pemarkir untuk bertahan hidup justru menjadi kambing hitam?


Saya tidak menyangkal pendapat Ghani soal legalitas para pemarkir ini. Kalau menurut aturan mereka ilegal, oke katakanlah mereka ini ilegal. Poin itu valid. Tapi mengapa mereka harus sampai berbuat demikian? Alih-alih melihat fenomena maraknya parkir liar sebagai penyakit, saya melihat hal ini sebagai gejala.


Menyoal Kelas dan Kuasa


Indonesia adalah negara yang sedang bertumbuh. Besarnya pasar dan generasi produktif di Indonesia menjadi modalitas kesuksesan sekaligus risiko kegagalan dalam pertumbuhan tersebut. Apabila generasi produktif ini dapat terserap industri, maka industri kita akan berkembang pesat. Jika yang terjadi sebaliknya, ya akan muncul gejala seperti pemarkir ilegal ini.


Dari permukaannya saja, kita dapat melihat bahwa maraknya pemarkir ilegal merupakan ekses dari permasalahan ketimpangan antara jumlah penduduk dan lapangan kerja yang tersedia. Alih-alih masalah behavioral berupa "Premanisme pemarkir", saya lebih merasa ini masalah struktural dari kegagalan pemerintah menciptakan lapangan kerja yang aksesibel. Saya yakin, apabila terdapat opsi pekerjaan yang lebih aksesibel bagi para pemarkir ini, mereka juga tidak mau jadi pemarkir, kok.


Masalahnya, (1) tidak cukup banyak lapangan kerja yang tersedia bagi sdm yang ada, dan (2) kalaupun ada, tidak lebih prospektif dari menjadi pemarkir. Proapektivitas di sini merujuk pada keuntungan yang dihasilkan per usaha yang dikeluarkan. Mungkin ada pekerjaan, tapi tidak menghasilkan lebih banyak dari menjadi pemarkir, atau pekerjaannya lebih berat dengan margin penghasilan yang tidak jauh berbeda.


Maka, Ghani temanku yang baik budi, alih-alih menusuk ke samping, sesama kelas rakyat dan pekerja yang banting tulang menyambung hidup, lebih baik kita coba menusuk ke atas guna mengurai gejala ini dari mereka yang punya kendali atas kondisi sosio-ekonomi-politik negeri ini. Yang saya jabarkan baru alasan di permukaan. Pasti dirimu selaku pembelajar ilmu ekonomi bisa menggali lebih dalam soal fenomena ini. Pun rasanya ada jauh lebih banyak hal yang bisa dikeluhkan daripada "sekadar" parkir liar.


Atau, hal yang lebih saya khawatirkan terjadi.


Menyoal Sistem Nilai


Privilise saya sebagai mahasiswa ilmu sosial benar-benar membuka mata saya tentang isu sosial, kelas, dan moralitas. Lebih daripada itu, adalah untuk tidak melihat sesuatu dalam hitam dan putih, melainkan spektrum norma yang bervariasi. Dari sana, tendensi untuk menjatuhkan justifikasi tidak lagi seksi. Bukan apa, penyebutan pemarkir sebagai beban terkesan peyoratif bahkan cenderung derogatoris.


Di akhir, saya ingin mengingatkan saya sendiri sekaligus seluruh pembaca untuk selalu memegang teguh nilai egaliter. Kita bukan Tuhan yang berwenang menjatuhi penghakiman atas sesiapa yang berlaku apa. Lebih daripada itu, kita harus menggunakan privilese yang kita punya untuk membuat sistem pemberdayaan bagi mereka yang tidak punya akses kepada kemapanan. Bahwa kita semua sama, entah mahasiswa, tukang sapu jalan, atau pemarkir liar.

 
 
 

Comments


bottom of page