Nabi Palsu
- Pambayung
- Aug 14, 2024
- 3 min read

Waktu saya duduk di bangku kelas tiga SMA, saya belajar untuk UTBK. Waktu itu, saya harus belajar ngebut karena "murtad" dari jurusan IPA ke IPS. Maklum, nafsu fafifuwasweswos saya lebih besar daripada hasrat menunduk-nunduk menghitung rumus. Dalam kasus ini, sepertinya buah jatuh agak jauh dari pohonnya. Betapa tidak, Papa dulu membuka kursus matematika dan fisika. Anaknya? baru dapat satu rumus sudah gumoh.
Karena belajar lintas jurusan, saya jadi banyak membaca soal sejarah peminatan yang hanya ada di jurusan sosial. Semakin banyak saya membaca, saya sadar ternyata banyak sekali fakta-fakta sejarah yang tidak diajarkan (baca: disembunyikan) dari buku pelajaran sejarah. Dari SD hingga SMA, saya diajarkan betapa heroik dan sucinya riwayat sejarah kita. Namun kemudian saya membaca soal borok-borok sejarah: pelanggaran HAM, pelemahan demokrasi, perampasan ruang hidup masyarakat, dan lainnya.
Saya yang dulu melihat Soekarno adalah sosok penyelamat yang memerdekakan bangsa, diperlihatkan bagaimana ia juga melemahkan demokrasi dengan mencoba menahbiskan diri sebagai presiden seumur hidup, mengkhianati mimpi soal republik yang ia bangun bersama Hatta. Soeharto yang kala saya SD dikisahkan sebagai sosok pembangun Indonesia, ternyata tangannya penuh darah penghilangan paksa dan pembunuhan aktivis. Sejarah ditulis oleh pemenang. Dan saya percaya apa yang saya baca baru seujung kuku dari kisah mereka yang kalah.
Saya mencintai Indonesia. Dan bagi saya, mencintai negeri ini berarti juga memeluk luka-luka masa lalu, mengakui dosa-dosa yang telah terjadi, dan mencoba menjadi bangsa yang lebih baik dari hari kemarin.
***
Politik adalah urusan kekuasaan. Itu yang dulu diajarkan kepada saya dulu di masa-masa awal bangku kuliah. Sebelum diajari bagaimana Aristoteles, Sokrates, Diogenes, hingga Kant, Bentham, dan Foucault berbusa-busa ndakik-ndakik bicara soal etika politik, saya lebih dulu tahu soal pragmatisme politik - bahwa seorang aktor politik diasumsikan akan selalu mengutamakan kepentingan politik yang ia bawa.
Dan memang, semakin saya lihat kondisi dunia belakangan ini, semakin kentara bahwa politik hanya soal kekuasaan belaka, bukan soal moral, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan publik. Hasilnya adalah lanskap pemerintahan yang bertangan besi, korup, niretika, serta, mengutip Bivitri Susanti, culas dan tahan malu.
Di antara morat-marit politik dunia, banyak yang menantikan sosok penyelamat yang akan mengembalikan marwah politik pada koridor-koridor yang seharusnya. Berbagai sosok dielu-elukan sebagai Ratu Adil, seorang yang akan mengakhiri masa-masa sukar dan membawa keadilan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Tapi saya, kawan-kawan yang budiman, memilih untuk tidak percaya.
Sesuci apapun seseorang, entah itu politisi, akademisi, hingga kyai, ketika masuk dalam sistem birokratik yang korup, maka koruplah ia. Pun dalam sistem yang nampak bersih, kuasa tetap bikin buta. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Saya percaya bahwa ketika individu membawa gagasan yang progresif, baik, visioner, dan bermoral, maka sah-sah saja bagi kita untuk mendukungnya. Tapi ketika ia sudah berada dalam tampuk kekuasaan di atas kursi pembuat kebijakan, maka sudah menjadi hak kita untuk mengkritik ia sekeras-kerasnya. Perjuangkan gagasannya, bukan bela orangnya.
Dukung sewajarnya, kritik selantang-lantangnya.
Kegagalan untuk memisahkan seorang aktor politik dengan gagasan yang ia bawa akan mengantarkan kita pada jurang kultus personal, menabikan aktor politik itu seolah-olah ia adalah gagasan itu sendiri. Maka ketika aktor itu perlahan-lahan berubah menjadi korup, perilakunya dijustifikasi karena ia "membawa gagasan baik". Atau sebaliknya, ketika ia menjadi korup, gagasannya ikut dipandang korup karena "dibawa aktor politik yang korup".
Tidak ada mesianisme dalam politik. Yang ada hanyalah mereka yang membawa obor api gagasan untuk negeri ini. Warisi nyala apinya. Bukan menabikan orang yang membawa. Sadari bahwa yang engkau idolakan juga manusia. Pasti punya nafsu dan lapar kuasa. Tak ada yang suci dalam percaturan politik, dan saya sudah berdamai atasnya. Sudahkah Anda?
Comments