top of page
Search

Ulat Bulu

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Jul 15, 2022
  • 1 min read

ree

"Nggak gatel, ya?"

Celetuk salah seorang kawan ketika melihat fotoku memegang ulat bulu.


Waktu aku kecil, Papa mengajariku untuk "bermain" bersama ulat. Mengajari agar tidak takut dengan bulu-bulunya yang gatal. Caranya, biarkan ulat itu merambat sendiri ke tangan. Jangan dipaksa. Mungkin bulu mereka jadi sumber gatal, tapi tidak dengan kaki mereka. Jadi, ya sentuh kakinya jangan bulunya. Tinggal pasang tangan terbuka di depannya, tunggu ia merayap sendiri. Jangan dipaksa.


Tapi baru belakangan ini aku mengerti maksud Papa mengajariku itu. Ulat mungkin hewan yang dianggap sebagai hama dan bikin gatal. Tapi nyatanya tidak selalu. Toh aku berhasil "bermain" ulat tanpa gatal. Mungkin manusia juga begitu. Meskipun banyak manusia yang dari luar terkesan "bikin gatal", pasti ada sisi baik dan sisi aman untuk bisa bermain dengan mereka. Tinggal pasang tangan terbuka di depannya, tunggu ia meraih genggamanmu sendiri. Jangan dipaksa.


Tapi ulat bulu ini sering jadi polemik. Ia sering merusak tanaman. Menggerogoti dedaunan sampai bolong-bolong seperti ibadahku. Eh. Hehe.


Tapi ada pelajaran yang bisa dipetik juga ternyata. Saat tanaman "dijangkiti" penyakit ulat, yang dilakukan adalah memetik daun yang ada ulatnya, bukan mencabut seluruh tanaman sampai ke akar-akarnya.


Pun begitu seharusnya dengan manusia. Kalau ada satu daun yang tidak disuka, ya satu daun itu saja yang dipotong. Jangan semua cinta kita cabut ke akar-akarnya. Kalau tidak suka dengan pendapat orang, ya benci pendapatnya. Petik dan buang pendapatnya. Jangan orangnya.


Kita tetap bisa menyiram tanaman, kok, meskipun salah satu daunnya ber-ulat.

Kita tetap bisa bersaudara, kok, meskipun sering berbeda pendapat.


Karena dunia jauh lebih berwarna dari sekadar hitam-putih benar dan salah. Seperti sayap kupu-kupu yang akan mekar dari badan ulat bulu yang sekarang aku pegang. Huehehehe.


 
 
 

Comments


bottom of page