Tidak Usah Berani Mati
- Pambayung
- Apr 30, 2022
- 2 min read
Di kisah-kisah lawas, kalimat "Aku rela mati untukmu." itu sudah sebenar-benarnya cinta. Setinggi-tinggi pengorbanan. Betapa tidak? Jika ada seseorang yang rela memberikan nyawanya untuk orang lain, pastilah ia mencintai orang itu bukan? Romeo rela mati untuk Juliet. Majnun menjadi gila (mati akalnya, dalam artian tertentu) karena Laila.
Akan tetapi, apakah pernyataan ini masih relevan untuk diungkapkan sebagai simbol cinta di masa modern?
Cinta Mati
Kebanyakan orang yang mencinta akan mengobral "Aku berani mati untukmu" ini. Tapi justru sedikit orang yang mengatakan sebaliknya: "Aku berani hidup untukmu". Saya merasa kalimat "Berani mati untuk cinta" ini kalimat yang aneh. Kalau kita mati, bagaimana kita bisa mencinta? Dan bagaimana orang yang kita cintai mencintai kita? Bukankah kita merenggut kesempatan mereka untuk mencinta?
Mungkin bukan porsi saya untuk menulis paragraf berikut ini. Kebanyakan orang tua selalu berkata bahwa mereka rela mati untuk anaknya. Tapi nyatanya tidak semua rela hidup untuk anak-anak mereka. Tidak semua mau merawat anak-anak mereka dengan penuh kasih. Kekerasan terhadap anak di mana-mana. Merawat dan membesarkan anak, kok sepertinya jadi hal yang jauh lebih sulit dari "sekadar" mati.
Sedangkan anak-anak tidak butuh orang tua yang berani mati. Tapi mereka butuh orang tua yang berani hidup. Hidup dan membesarkan mereka. Bukan menelantarkan dan menyakiti.
Cinta Hidup
Saya teringat kisah yang pernah saya tonton di televisi. Ada seorang ibu dengan dua anak yang cacat. Kedua anak tersebut kesulitan untuk sekadar bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari. Satu-satunya orang yang bisa mengurus mereka adalah sang ibu. Ibu mereka memandikan mereka, memapah mereka dari satu tempat ke tempat lain, dan sebagainya. Pernah sekali kerabat lain menggantikan si ibu mengurus kedua anak tersebut. Walhasil, karena tidak mengerti cara memapah dan memandikan mereka, kedua anak tadi malah kesakitan.
Saat ditanya, si ibu mengungkapkan bahwa ia berharap kalau anak-anaknya mati duluan. Ya karena ia tahu bahwa ia seorang yang dapat merawat mereka. Kalau nanti ia meninggal, siapa yang merawat kedua anaknya?
Lihat? Si ibu tidak perlu berani mati. Yang anaknya butuhkan justru sosok yang berani hidup untuk merawat mereka dengan segala keterbatasan yang mereka punya.
NKRI Harga Hidup
Pun demikian dengan kita dan negara. Dari dulu, yang diglorifikasi adalah kita harus berani mati untuk membela tanah air yang kita cintai. Indonesia yang sekarang tidak butuh orang yang berani mati. Ia justru butuh patriot-patriot yang berani hidup untuk mengurusi masalah-masalah yang ada di negeri ini.
Kasus pelanggaran HAM, korupsi, konflik agraria, eksploitasi sumber daya, dan masalah-masalah lainnya tidak akan selesai dengan martir-martir yang berani mati. Masalah-masalah tersebut justru harus diselesaikan oleh mereka yang hidup.
Konklusi
Sadarilah. Dunia tengah sekarat. Perubahan iklim, masalah limbah, emisi karbon, perang, global warming, dan lainnya. Cari saja data mengenai seberapa parah kita sudah mencemari bumi. Lihat saja angka-angka yang muram dan bikin depresi itu. Suhu bumi naik sekian derajat dekade ini. Limbah di laut mencapai sekian juta ton tahun ini.
Dihadapkan dengan masalah-masalah seperti itu, mati, kok, rasanya menjadi pilihan yang tidak terlalu buruk.
Jangankan masalah makro seperti di atas. Masalah personal pun sama. Kawan-kawan saya banyak sekali yang mengeluh ingin mengakhiri hidup mereka, karena merasa bahwa mati adalah pilihan yang jauh lebih mudah daripada melanjutkan hidup. Lagi, berani hidup ternyata jauh lebih sulit daripada berani mati.
Jadi, yuk hidup yuk. Dunia yang sekarang sangat butuh kamu. Orang yang berani hidup.
Comments