Tak Perlu Terjemahan
- Pambayung
- Apr 1, 2024
- 2 min read
Mungkin tidak, sih, manusia lintas agama dan lintas benua bisa paham langgam bahasa yang satu?
Tempo hari, saya diberi kehormatan untuk jadi penerjemah di acara dialog lintas agama yang mempertemukan pemuka agama Islam dan Katolik dari Indonesia dan Ukraina. Acaranya dihadiri mufti, romo, suster, kyai, bu nyai, akademisi, dan praktisi di bidang agama dari dua negara tersebut. Mereka membahas bagaimana agama berperan dalam mengatasi konflik dan masalah-masalah kemanusiaan. Adem sekali melihat mereka tampak akrab dan gayeng seolah-olah tidak ada pagar perbedaan yang membatasi.
Dari dialog mereka, saya menemukan satu kalimat yang sering luput dari pikiran kita selama ini: "Meskipun kemanusiaan tidak berada di atas Tuhan, ia berada di atas agama."
Saya jadi teringat video yang beredar di internet tempo hari. Video itu berisi seorang Muslim yang mempersoalkan aturan Nyepi di Bali – utamanya ketika Nyepi jatuh bersamaan dengan awal Ramadan, sehingga tak bisa meluapkan euforia macam menyalakan kembang api. Ingatan saya juga melayang ke peristiwa lain, kala kawan saya yang Kristen bercerita soal pengamanan gereja jelang natal dan paskah yang diperketat. Itu dilakukan karena trauma akan serangan-serangan teror di masa lalu yang ditujukan pada gereja kala merayakan hari besar (saya pernah menceritakan ini di instagram).
Saya tersentak. Seberapa tidak manusiawinya saya ketika selama ini mengira beragama harus dirayakan dalam hingar bingar tanpa memperdulikan saudara-saudara yang berbeda agama. Saya tidak bisa membayangkan tetangga-tetangga nonmuslim saya yang sebenarnya keberatan dengan ronda sahur keliling tapi tidak berani mengungkapkan karena takut dipersekusi. Seberapa tidak manusiawinya saya ketika tersinggung melihat warung yang masih buka sebagai ancaman iman. Padahal di saat yang sama teman-teman Kristen saya menghadapi ancaman yang jauh lebih nyata. Kalau mengutip Seneca, mungkin memang benar kita lebih menderita dalam imajinasi sendiri daripada di kenyataan.
Mungkin saya sebagai Muslim perlu berefleksi kembali. Mungkin saya terlalu sering menemukan Tuhan dalam kembang api dan petasan, dalam bedug sahur yang menggelegar, dan dalam pengeras suara yang bertalu sampai malam. Seakan-akan Tuhan tidak ada dalam hening dan sunyi. Dalam gelap dan sepi. Mungkin saya terlalu nyaman dengan agama mayoritas ini sehingga tak pernah memikirkan bagaimana nasib saudara-saudara saya yang berbeda iman: diancam teror bom, persekusi, rumah ibadah yang sulit pembangunannya, waktu ibadah yang tidak dikhususkan dalam acara-acara formal, hingga isu-isu lainnya yang saya yakin selama ini luput dari perhatian saya.
Pikiran saya yang melayang mendadak buyar ketika tiba saatnya bertugas menjadi penerjemah beberapa pemuka agama. Tapi rasanya saya tidak perlu bertugas banyak untuk menerjemahkan. Toh mereka yang lintas agama dan lintas benua ini sudah fasih bicara bahasa yang sama: bahasa cinta dan kemanusiaan. Justru saya yang harusnya minta diterjemahkan.
Selamat Nyepi, Paskah, dan Ramadan bagi semua!
Comments