Seorang Ibu yang Menangis di Bus
- Pambayung
- Mar 24, 2022
- 2 min read
Ada sesuatu yang berbeda saat saya naik bus jurusan Surabaya beberapa waktu lalu. Saya berangkat dari terminal Pare pagi-pagi sekali, bersama Papa yang berangkat kerja. Semuanya tampak biasa saja, sampai saya duduk di belakang seorang ibu yang bersebelahan dengan anaknya. Sejak awal, saya sudah merasa ada yang aneh. Pandangan si ibu yang sering mengawang, si anak yang terus memperhatikan ibunya, dan telepon yang tidak pernah absen digenggam erat oleh si ibu.
Beberapa kali si ibu mengecek ponsel, seperti menunggu sesuatu. Sebentar kemudian, ponsel ibu itu berbunyi. Tanpa menunggu nada dering berbunyi lebih lama lagi, si ibu langsung mengangkat telepon yang masuk. Pecah sudah tangisan ibu itu. Dari pembicaraan yang (tidak sengaja) aku dengarkan, si ibu sedang dalam perjalanan ke rumah sakit di Surabaya. Ada salah seorang, yang aku perkirakan sebagai anggota keluarga ibu itu, meninggal di sana.
Ibu itu mendapat kabar bahwa salah seorang terdekatnya meninggal di rumah sakit nun jauh di sana. Saya tak bisa membayangkan apa yang ibu itu rasakan selama lebih dari dua jam duduk di dalam bus. Seakan-akan tidak mampu melakukan apa-apa selain menangis dan mengabarkan berita kematian yang, aku yakin, membuatnya semakin sakit ketika diceritakan. Sungguh, saya bersedih untuknya.
Saya jadi membayangkan perasaan ketidakberdayaan si ibu. Betapa ia tidak bisa memaksa bus untuk berjalan lebih cepat, memaksa kendaraan lain untuk memberi jalan, atau sekadar bisa tidur agar perjalanan jauh, dan rasa sakitnya, tidak terasa. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menangis.
Perasaan tersebut mungkin sering saya dan anda rasakan ketika dihadapkan pada suatu masalah. Merasa tak berdaya, merasa tidak mampu, merasa sia-sia. Merasa...tidak berdaulat akan takdir diri sendiri.
Terlepas dari pembicaraan mengenai apakah takdir sudah digariskan atau dibentuk oleh pilihan hidup kita, saya merasa akan selalu ada masa-masa di mana kita sudah merasa benar-benar tidak punya kontrol akan apa yang terjadi di sekitar kita.
Akan tetapi, saya merasa, bahwa kita masih akan selalu ditinggalkan dengan pilihan-pilihan, seremeh apapun itu. Ibu tadi, misalnya, tidak memiliki kuasa untuk membuat buasnya berjalan lebih cepat atau membikin jalanan tiba-tiba lengang. Tetapi ibu tadi memiliki pilihan untuk menelepon siapa-siapa saja yang ia anggap penting. Ibu tadi juga sebenarnya memiliki pilihan antara menangis menjadi-jadi, atau sesenggukan lirih seperti yang dilakukannya. Dan ia memilih yang kedua.
Betapa pun tidak berdaulatnya kita di hadapan suatu masalah, selalu ada pilihan-pilihan kecil. Di antaranya, pasti ada pikiran untuk menangis. Dan jika dengan menangis kamu merasa mendapatkan sedikit kedaulatanmu kembali, maka menangislah. Dan berdaulatlah akan dirimu sendiri. Sekali lagi.
Comments