Segelas Kosong di Pojok Terminal
- Pambayung
- Aug 5, 2022
- 4 min read

Deru bus antarkota sudah mereda. Digantikan dingin ibu kota provinsi yang masih menyisakan kedap panas siang hari, meski mentari sudah berpamitan dari berjam-jam lalu. Yang menemaniku adalah gemricik air dari kran WC umum yang bocor di samping warung ini. Warung pojok, nama yang ditahbiskan orang-orang terminal ini, adalah milik ibuk. Ia "mewarisi" warung ini dari bapak waktu aku kecil.
Tidak ada yang aku ingat dari sosok bapak. Memoriku tentangnya yang paling membekas adalah punggungnya saat naik ke bus jurusan ibu kota. Juga wajahnya yang kulihat separuh dari balik kaca jendela bus itu. Ia meninggalkan kami tanpa senyum. Hanya mewariskan satu warung kecil di ujung deretan warung lainnya, paling dekat dengan WC umum dan jalur bus jurusan ibu kota. Bus yang sama yang mengantar bapakku pergi.
Aku masih bercumbu dengan tugas sekolahku ketika suara itu kudengar.
"Marni! Pesan yang seperti biasa, ya!"
Aku menoleh. Segera mengangguk pada perempuan yang rambutnya dicat pirang sebagian itu. Pangkal rambutnya yang masih belum disemir ia tutupi dengan topi yang dipasang terbalik. Kaos HelloKitty mengintip malu-malu di balik jaket jeans yang tidak ia kancingkan. Celana ketat dan sandal jepit berwarna cerah senada melengkapi busananya. Sigaret menggantung lugu di kedua bibirnya yang merah bergincu. Bedak dan maskara murahannya mungkin sudah luntur di malam seperti ini, tetapi matanya masih sama tajamnya seperti pisau yang baru di asah pagi tadi. Tangannya mantap memegang ukulele, sesekali memainkannya sambil berjalan ke arah warung ini.
Orang-orang memanggilnya dengan Kas. Katanya, itu kependekan dari kasturi. Soalnya ia memang wangi. Yang lain berkilah kalau itu plesetan dari cash. Mbak Kas memang pandai cari duit. Ia memoles tubuhnya sedemikian rupa untuk menarik perhatian ketika mengamen di bus. Sempat beberapa kali kedapatan mencopet, ia tak pernah tertangkap aparat. Mungkin ia menyogok polisi-polisi itu. Dengan apa? Entahlah. Tapi aku tidak kaget kalau ia menyogok mereka dengan tubuhnya.
Segera aku mengambil gelas kosong dan mengisinya dengan es. Sebelum perempuan itu duduk di satu-satunya meja di teras warung ini, pesanannya yang "seperti biasa" sudah terhidang.
"Dapat berapa, Kas?" ibuk bertanya dari dalam warung.
"Dikit, Buk. Besok hari raya kurban. Banyak yang mau pulang. Penumpang banyak tapi bus penuh, bikin kita pengamen dan asongan ndak bisa masuk." ia menghembus asap dan membuang rokoknya yang habis ia hisap.
"Habis ini mau kemana?" ibuk bertanya sembari keluar dari warung.
"Mau umroh!" jawab perempuan itu, disambut tawa kami bertiga. Kalau benar memang mau umroh, Ka'bah yang dituju perempuan ini pastilah Bus Harapan Tunggal yang menuju ke Tanah Seberang. Penumpangnya banyak dan tak segan memberi duit besar-besar.
"Aku keluar dulu ya, Kas. Ibuk titip warung, Ndhuk." katanya sambil mengecup keningku.
Aku membalas senyum. Meskipun ibuk tidak bilang mau kemana, aku tahu ia pergi ke samping stasiun.
Ibuk melacur lagi.
Apa daya, warung kami memang sepi. Kata ibuk, biarkan aku saja yang sekolah dan mengaji. Agar tidak seperti ibuk. Meskipun dengan uang tidak benar, ibuk tetap menyekolahkanku di sekolah paling murah yang bisa ia temukan. Ibuk juga menyuruhku mengaji di surau terminal ini kepada Pak Syafi'i.
"Nanti kamu yang narik ibuk dari neraka. Biar bisa barengan di surga sama kamu." ujarnya selalu. Pernah sekali aku tanyakan kepada Pak Syafi'i, tetapi ia bilang yang bisa menarik manusia dari neraka itu syafa'at Rasulullah seorang. Betapa sedih aku dibuatnya. Tapi aku ndak bilang ibuk. Pokoknya nanti di akhirat aku tetap mau menarik ibuk dari neraka, peduli setan boleh atau ndak.
"Lagi nulis apa?" Mbak Kas membuyarkan lamunanku. Ia mengambil buku tugasku lalu membacanya sekilas.
"Ah, ndak Mbak. Ini, tugas dari sekolah. Suruh bikin tulisan, sepuluh tahun lagi mau jadi apa."
"Oh, begitu. Memangnya kamu mau jadi apa?" Mbak Kas menyulut sigaret sebatang lagi.
"Aku pingin jadi guru ngaji sih, Mbak. Buat anak-anak terminal sini."
Mbak Kas mengangguk-angguk. "Baguslah itu. Eh ambilkan asbak, Ndhuk."
Aku menggeser asbak dari ujung meja. Ia menuangkan sesuatu dari botol berbungkus plastik hitam yang ia bawa.
"Mau?" Mbak Kas menawariku dengan botolnya. Aku menggeleng pelan. Kata Pak Syafi'i, minuman itu haram. Tapi aku tak pernah tahu sebabnya. Mungkin agama memang dibikin perintah dan larangan saja. Doktrin tanpa peduli pengikutnya tahu sebab-musababnya.
"Enak sekolah?"
"Enak, Mbak."
Di terminal ini, aku merupakan anak yang cukup beruntung karena bisa sekolah. Sekolah merupakan kemewahan yang tidak semua anak bisa miliki. Termasuk Mbak Kas. Sedari kecil, ia sudah mengamen di bus-bus antarkota. Dulu, ia belum bergincu dan berdandan. Malah memakai kaus lusuh untuk menarik simpati. Siapa yang tidak iba pada bocah berkaus lusuh, rambut kumal, dan suara parau?
"Kalau Mbak Kas sendiri mau jadi apa sepuluh tahun lagi?"
"Ndak tahu. Aku kan ndak sekolah. Buat apa menjawab tugasmu?" ia mengangkat bahu.
"Ya siapa tahu, Mbak"
Matanya mengawang. "Hmmm... jadi apa ya? Jadi sapi pun aku ndak menolak, rasanya."
Aku tergelak.
"Begini, lho" sambung Mbak Kas sehabis menenggak segelas minumannya lagi.
"Jangankan sepuluh tahun lagi. Bisa hidup besok itu sudah bagus buatku. Asal ndak mati dirampok sama diperkosa di tempat ini, itu sudah prestasi."
"Memikirkan masa depan," sambungnya, "itu kemewahan yang cuma dimiliki dua orang. Orang yang punya duit, sama orang yang punya Tuhan."
Ia hembuskan asap sigaretnya ke arah langit.
"Dan aku tidak punya dua-duanya." ia berkata sambil memandang jauh. Jauh sekali.
"Dunia ini cuma lakon pewayangan, Ndhuk. Orang-orang yang datang dan pergi dari terminal ini, mereka punya cerita. Mereka wayangnya. Entah jadi Limbuk atau Arjuna, ada cerita yang harus mereka selesaikan. Ndak dengan kita. Kita cuma nonton. Terlalu miskin buat jadi wayang. Tapi aku kepingin banget suatu hari bisa bikin lakonku sendiri. Sudah sejak kecil aku mau keluar dari sini. Siapa yang tahan mengamen di siang hari lalu dicabuli di malamnya?"
Aku terdiam. Mbak Kas menandaskan sisa minumannya.
"Mbak Kas pengen masuk surga?"
"Kamu masih percaya surga?"
"Mbak Kas ndak?"
Mbak Kas menghisap sigaretnya.
"Ya kalau dibolehkan sama Dia, pengen juga."
"Kalau ndak dibolehkan?"
"Ya aku bikin surga sendiri. Yang lebih indah dari neraka tempatku hidup sekarang ini."
Sehabis mematikan sigaretnya di asbak, Mbak Kas mengeluarkan uang sepuluh ribuan dari dompetnya.
"Ini yang seribu buat pesananku, sembilan ribunya buat kamu sekolah. Mbak Kas pamit dulu. Salam ke ibuk kalau sudah pulang." ujarnya lembut.
Masih menenteng ukulelenya, ia pergi. Tapi tidak ke arah tempat ia pulang biasanya. Sebaliknya, ia pergi ke arah jalur bus antarprovinsi. Ia menaiki bus terakhir malam itu. Bus jurusan ibu kota.
Comments