Salep Mama
- Pambayung
- Mar 30, 2022
- 2 min read
Seorang ibu, pasti ingin memberikan kenyamanan pada anaknya, dan menghindarkan buah hatinya itu dari ketidaknyamanan sekecil apapun. Kalau di tulisannya Agus Mulyadi, dia mencontohkan nasi yang didinginkan dulu sebelum dihidangkan kepada kita, semata agar kita tidak susah-susah meniupi nasi sebelum menyantapnya.
Hal ini juga aku rasakan, meski dengan subyek yang berbeda. Mari kuceritakan.
Dulu, sewaktu aku mau berangkat ke Surabaya untuk pertama kalinya, mama berpesan untuk membawa salep kecil bersamaku. Aku tertawa kecil menolak halus, berpikir bahwa toh di sana juga pasti ada apotek. Salep itu tidak jadi kubawa.
Waktu kepulanganku berikutnya, mama sempat menegurku karena tidak membawa salep. Beliau dhawuh kalau aku harus membawa salep agar tidak jerawatan. Kalau muncul biang jerawat, tinggal pakai salep. Aku, yang tidak peduli soal penampilan ini, masih menggumam, menolak halus. Toh aku juga tidak jerawatan.
Akan tetapi, kali ini mama bersikukuh agar aku membawa salep itu. Tidak mau dikutuk jadi batu, aku menurut saja. Menyimpannya di dalam laci kos tanpa pernah ingat bahwa benda itu ada.
Kemarin malam, hujan mengguyur daerah kosku dari lepas maghrib. Aku, mahasiswa rantau yang kelaparan ini, jadi tidak bisa keluar beli makan. Tidak kehabisan akal, aku berniat menggoreng pempek oleh-oleh salah seorang kawanku dari Palembang.
Memang dasar lifeskill-ku minus, urusan memasak sederhana (yang cuma menggoreng) pun tidak bisa aku lakukan dengan sempurna. Walhasil, jari telunjuk kiriku terkena minyak panas dan sedikit melepuh. Panik, aku segera membasuhnya dengan air kran mengalir. Setidaknya, itu bisa membuat rasa sakitnya lebih bisa ditahan sampai aku bisa menyelesaikan proses masak-memasak yang durjana ini.
Selesai makan pempek, aku merasakan bekas melepuhnya semakin sakit. Ada tonjolan di telunjuk kiriku, panas dan berair. Kemudian, aku ingat tentang salep yang disarankan mama untuk aku bawa. Aku membuka laci, menemukan salep itu, dan mengoleskannya ke telunjukku. Entah kenapa, rasanya lega sekali.
Aku tersenyum. Mungkin ini salah satu manifestasi paling sederhana dari cinta seorang ibu.
Kamu tidak bisa tumbuh keluar dari kasih ibu. Cintanya mengalir melalui jalan-jalan yang misterius. Cintanya mengalir dari selimut yang ia tutupkan pada badan kita saat tertidur, dari kompres hangat yang ia buatkan saat kita demam, atau, dalam kasusku, mengalir dari salep merk Guci Pusaka yang ia sarankan untuk bawa ke perantauan.
Comments