Salat Jumat di Udayana
- Pambayung
- Dec 28, 2022
- 3 min read

Beberapa waktu lalu, seorang penyanyi cilik ditanyai soal agamanya oleh seorang pemuka agama. Ia tidak menjawab.
"Privasi," katanya.
***
Di Indonesia, agama memang menjadi isu sensitif. Bersama dengan isu komunisme, ia menjadi alat politik yang paling mudah digunakan untuk menghimpun suara dari mereka yang berpikiran pendek. Di pemilu 2014 dan 2019, isu agama selalu "digoreng" renyah. Agama dimanfaatkan oleh politisi untuk menaikkan pihak tertentu dan menjegal pihak yang lain.
Tak mengherankan, mengingat bahkan KTP di Indonesia saja memiliki kolom agama. Perihal apakah pencantuman tersebut merupakan bentuk kontrol warisan Orde Baru, bisa diperdebatkan. Yang tidak bisa diperdebatkan adalah betapa peliknya masalah yang menyangkut keagamaan di Indonesia.
Contoh awal, masih berkaitan dengan kolom agama di KTP, para penghayat kepercayaan di Indonesia kesulitan mengisi kolom agama di KTP mereka. Mereka mendapat diskriminasi ketika menuliskan "Penghayat" sebagai agama mereka. Akhirnya, mereka "mengungsi" ke bawah payung agama lain untuk sekadar mendapat hak-hak sipil, seperti pernikahan dan pendidikan.
Perlu lebih dari empat puluh tahun bagi mereka menuntut hak dan melayangkan gugatan agar dilihat setara dan mendapatkan HAM untuk bebas menganut kepercayaan apapun. Barulah pada 2017, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan mereka menulis "Penghayat" di kolom KTP, meskipun hingga sekarang masih sering terkendala administrasi karena kurangnya sosialisasi.
Contoh kedua terjadi baru-baru ini. Wali kota Cilegon ikut menanda tangani petisi yang berisi penolakan pembangunan gereja. Ia berkilah bahwa persyaratan pembangunan rumah ibadah belum memenuhi. Dasar ngehe. Persyaratan pembangunan rumah ibadah di Indonesia memang berkaitan erat dengan jumlah penganut agama yang akan beribadah di dalamnya. Untuk membangun sebuah rumah ibadah, diperlukan paling tidak sembilan puluh KTP calon pengguna rumah ibadah.
Sedang, keimanan dan hak untuk menganut agama dan kepercayaan tidak bisa dikuantifikasi.
Pembangunan rumah ibadah menjadi persoalan klasik agama minoritas di Indonesia. Di Aceh Singkil, terdapat sekelompok orang beragama Kristen yang beribadah di gereja tenda. Mereka melakukan itu karena bangunan gereja mereka dibakar pada 2015 dan hingga kini belum bisa dibangun kembali. Pembakaran yang dilakukan oleh ratusan anggota Gerakan Pemuda Peduli Islam Aceh Singkil tersebut menyisakan duka mendalam.
Bangsatnya, pemerintah seperti menjustifikasi dan melanggengkan hal tersebut dengan menerbitkan aturan yang malah mempersulit pembangunan gereja daripada sebelumnya.
***
Saya sepenuhnya menyadari bahwa, sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam memiliki privilese jika dibandingkan dengan agama-agama lain. Hal tersebut sebenarnya melahirkan suatu tanggung jawab moral bagi masyarakat muslim untuk memastikan terpenuhinya hak-hak beragama penganut agama maupun kepercayaan lain. Dan saya pernah merasa tertampar cukup keras karena hal ini.
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengunjungi Universitas Udayana Bali untuk mengikuti sebuah kompetisi.
Di sana, menemukan musala jauh lebih sulit daripada menemukan pura. Untuk pertama kalinya dalam sembilan belas tahun saya hidup, saya diposisikan sebagai minoritas dalam hal kepercayaan. Dan rasanya tidak enak.
Tapi, hal yang luar biasa terjadi. Ketika waktu salat Jumat tiba, acara lomba kami dihentikan. Panitia kemudian menyulap aula, yang sebelumnya penuh kursi, menjadi tempat berkarpet, lengkap dengan mimbar untuk khotbah.
Meskipun nyaris tidak ada panitia yang mengikuti salat Jumat, kami yang muslim tetap diberikan ruang dan waktu untuk leluasa beribadah.
Sebagai seorang muslim, saya merasa sungkan. Apa yang sudah saya lakukan kepada pemeluk agama minoritas di sekitar saya, sehingga saya bisa mendapatkan penghormatan setinggi ini? Menjadi tamparan keras bagi saya bagaimana teman-teman di Udayana yang mayoritas beragama Hindu dengan sangat luwes dapat menghormati agama saya dengan, tidak hanya membiarkan saya beribadah, tapi juga memfasilitasi ritus peribadatan saya.
Terlepas dari peran mereka sebagai panitia, saya rasa hal tersebut menjadi contoh bagaimana masyarakat muslim Indonesia harus memperlakukan pemeluk agam lain: setara dan dengan kehormatan yang sama.
Comments