Rambut Merambat
- Pambayung
- Mar 3, 2022
- 2 min read
Saya sering sekali merasa tidak pede dengan tubuh dan penampilan saya. Kurus, hitam, pendek, adalah fitur penampilan yang membikin saya habis dibully sewaktu SD. Oh tentu peristiwa-peristiwa perundungan itu meninggalkan luka: saya jarang sekali merasa penampilan saya memenuhi standar layak pandang. Saya tidak enak dilihat (untuk menghindari diksi buruk rupa).
Berangkat dari sana, saya memanjangkan rambut selepas lulus SMA. Setidaknya, saya jadi berpeluang untuk (sedikit) menambah poin kepercayaan diri terhadap penampilan. Sebenarnya, saya juga kepingin bisa headbang dengan rambut yang was wis wus keren waktu memutar lagu metal kesukaan saya. Atau paling tidak bisa jadi bahan obrolan lah.
"Kok manjangin rambut, Mas?"
"Iya biar sampeyan nanya."
Khusus untuk poin yang ketiga itu, saya terlalu sering mengalami. Sebagai anak laki-laki yang dibesarkan di lingkungan desa, memanjangkan rambut bukanlah praktik yang lumrah. Lingkungan gemmeinschaft yang konservatif di sini tidak memberikan ruang gerak yang terlalu luas untuk neko-neko. Standar neko-neko di lingkungan desa juga terbilang cukup rendah, sehingga nyeleneh sedikit saja bisa jadi bahan gunjingan satu RT.
Ada dua peristiwa yang sangat membekas di pikiran saya. Yang pertama, sewaktu saya membeli ayam potong di dekat pasar. Penjual daging ayamnya, yang sudah familiar dengan saya sejak dulu pas rambut saya pendek, mempertanyakan alasan saya memanjangkan rambut. "Arep dadi wedok apa piye? Ngko tak bibiri, tak giwangi." (Mau jadi perempuan apa bagaimana? Nanti aku pakaikan lipstik, aku beri anting.). Saya hanya tertawa dengan gurauannya.
Yang kedua berasal dari celetukan kawan saya dari desa sebelah. Saat kami bertemu setelah tidak berjumpa untuk waktu yang lumayan lama, ia mengomentari rambut saya setengah bercanda. "Punya amalan apa, Mas?" guraunya. Yah, memanjangkan rambut diidentikkan dengan syarat memiliki amalan tertentu.
Sempat terbesit pikiran jumawa "Orang-orang ini kok tidak open minded sekali. My body my choice bruv!". Tetapi kemudian saya sadar. Selama ini pemakluman dan sikap toleran yang ada di bawah kata-kata open minded selalu ditujukan kepada orang yang progresif. Tapi sepertinya kita lupa untuk juga lebih memahami mereka yang belum tentu mengerti.
Kita perlu open minded terhadap mereka yang tidak open minded.
Ironi juga sebenarnya, karena menyebut orang lain sebagai close minded juga satu bentuk dari close minded itu sendiri. Secara paradoksal, kita tidak menjadi open minded saat menghakimi mereka yang belum open minded menurut kita. Aduh pusing. Entahlah, mau pakai hair mask dulu.
Comments