Pulang yang Jauh
- Pambayung
- Apr 15, 2023
- 3 min read
"Sekarang pertanyaannya bukan rumahmu di mana. Tapi rumahmu siapa," kata salah seorang teman saya di satu sesi mengobrol dini hari kami.
Beberapa hari terakhir ini, saya dan teman-teman di perantauan disibukkan dengan tetek bengek tentang kepulangan. Obrolan basa-basi yang sebelumnya membahas mengenai tugas dan perkuliahan, bergeser menjadi mudik kapan, naik apa, dan kapan kembali ke Surabaya. Teman-teman yang lain, selain merayakan kepulangan mereka, justru berbahagia karena sebentar lagi mereka justru akan pergi. Melewati samudera ke benua seberang sana untuk belajar.
Lucu bagaimana globalisasi mendistorsi jarak. Dalam sepeminuman kopi, mereka bisa sampai di negara nun jauh di sana. Dalam jangka waktu yang sama, mereka bisa kembali lagi. Pulang lagi. Pun demikian dengan salah seorang kawan saya. Tidak sampai sehari, kawan saya melintasi Pulau Jawa dari ujung Timur ke ujung Baratnya.
Menyangkut globalisasi, dosen favorit saya pernah berkata, bahwa ada tiga jenis manusia dalam globalisasi: turis, pengembara, dan peziarah. Di antara ketiganya, ia menyarankan untuk menjadi jadi peziarah. Yang di belantara kompleksitas dunia ini masih bisa berpegang pada akarnya. Yang masih menggenggam kuat nilai-nilai identitasnya. Yang tidak terombang-ambing dalam dunia yang kejam. Yang bisa... pulang ke rumahnya.
Berkaitan dengan perjalanan ziarah dan pulang, dewasa ini sedang ngetren orang-orang yang melakukan perjalanan untuk "pulang". Untuk kembali. Entah secara harfiah atau figuratif. Disebut dengan pilgrimage (secara harfiah berarti peziarahan), mereka melakukan perjalanan untuk mencari nilai-nilai dan pandangan baru. Mereka tidak pulang ke rumah, mereka justru pulang dengan pergi dari rumah.
Salah seorang yang saya kenal pernah belajar agama Buddha ke Thailand justru untuk menemukan indahnya Islam di Indonesia. Salah satu tokoh novel favorit saya, Bodhi Liong, justru menemukan kesejatian Buddha setelah ia pergi jauh dari Vihara.
***
Tapi dari tulisan ini saya berpikir. Apa yang dikatakan teman saya di awal tadi ada benarnya. Sekarang "rumah" menjadi istilah yang tidak sekadar merujuk pada atap dan tembok. Rumah bisa berupa manusia, rasa, nuansa, dan familiaritas yang melingkupinya. Dan pulang adalah perjalanan menuju familiaritas itu lagi. Kalau kata Avenged Sevenfold,
"Home is where the heart is"
Teman saya di pers mahasiswa, misalnya. Hari ini dia di kampus, besok sudah ke Gresik, lusa di Malang, sorenya ke Surabaya lagi. Tidur di mana? Di Masjid, di sekretariat WALHI, di warung kopi, atau rumah kawanyang bisa disinggahi. Atap rumahnya adalah langit, berlantaikan tanah yang ia pijak setiap hari.
Contoh lain adalah orang-orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk beribadah dan merawat tempat ibadah. Pendeta, Bhikku, marbot masjid, atau siapapun yang membaktikan diri di bawah nama Tuhan. Bagi mereka, rumah ibadah adalah rumah mereka, dengan Tuhan sebagai sebenar-benar tempat pulang.
Ah, saya juga mengalaminya sendiri. Beberapa kali, waktu pulang ke Kediri, Mama sedang menginap di kampusnya buat keperluan S2. Adek juga masih di asrama dan belum jadwalnya balik. Di saat-saat seperti itu, saya tidak merasa pulang. Saya tidak sedang di rumah. Karena saya tidak bertemu dengan rumah-rumah saya.
Tapi itu belum apa-apa. Banyak kawan saya yang bercerita mereka tidak merasa di rumah bahkan ketika di rumah. Mereka menemukan house, tapi tidak home. Banyak alasannya. Salah seorang kawan saya dihakimi oleh orang-orang yang ia anggap rumah lantaran orientasi seksual yang berbeda dengan mereka. Kawan saya yang lain merasa tidak pantas pulang ke rumah karena kelahirannya tidak diharapkan. Dan cerita-cerita lain yang merenggut rumah mereka.
Hal itu membuat mereka ingin menemukan tempat untuk pulang di luar rumah. Beberapa dari mereka menemukan jalan dan berkembang, beberapa yang lain hilang arah dan tumbang.
***
Konstruksi manusia soal rumah sudah bergeser, tidak melulu dinding dan atap. Bisa jadi rasa, suasana, atau orang untuk menetap. Saya termasuk orang yang beruntung karena memiliki "rumah" dan bisa "pulang" setiap saat. Banyak orang lain yang tidak bisa sering "pulang", atau bahkan tidak punya "rumah" untuk pulang sejak awal.
Maka, biarkan saya menutup catatan kecil ini dengan sebuah mimpi yang agak besar. Saya ingin merujudkan tempat yang bisa menjadi rumah untuk banyak orang. Tempat di mana mereka bisa mendapat cinta, kasih sayang, pengakuan, kesempatan, dan harapan. Bisa berupa panti sosial, sekolah, rumah belajar, panti asuhan, atau apapun. Asalkan mereka bisa kembali percaya akan ajaibnya perjalanan pulang pada tempat penuh kasih dan kenyamanan. Karena semua orang berhak memiliki rumah, dan semua orang berhak untuk pulang. So, buat teman-teman yang pulang, hati-hati di jalan. Semoga sampai tujuan.
Pulang yang jauh, jangan lupa kembali ke rumah.
Tulisan dengan nuansa filosofis makna rumah yang terkadang butuh dibaca berulang untuk merefleksikan makna itu sendiri. Joss tulisane