Pemuda Tampan di Bus Jurusan Jombang
- Pambayung
- Aug 22, 2022
- 3 min read
Aku ingat betul kejadian siang itu. Aku, yang sedang sakit, harus pulang menaiki bus jurusan Surabaya-Jombang-Pare. Demam membuatku meringkuk di salah satu kursi dekat jendela. Waktu itu, penumpang bus sedang ramai-ramainya. Sampai-sampai, mereka yang tidak mendapat jatah kursi harus berimpitan di lorong bus, berdiri.
Dari sudut mataku, aku melihat seorang lelaki dewasa muda, sepertinya usia awal dua puluh, bermain ponsel. Berperawakan tinggi, ia mengenakan kacamata dengan rambut agak panjang tersisir rapi. Ada mata ramah dii balik kaca mata itu. Pipinya yang tirus menambah aksentuasi senyumnya yang berhias kumis tipis. Ia duduk di seberangku. Kami adalah orang yang terbilang beruntung karena bisa mendapat tempat duduk di saat bus sedang penuh seperti ini.
Tiba-tiba, ia mencolek bahu ibu-ibu di dekat kursinya. Ia menyuruh ibu tersebut untuk mengambil kursinya. Ia lalu berdiri di lorong bus, bertukar posisi dengan ibu-ibu itu. Apa-apaan? Kan mereka sama-sama membayar? Kenapa ia menyerahkan kursinya? Bukankah duduk di kursi sudah jadi hak masing-masing? Salah ibunya, dong, kalau tidak dapat tempat duduk?
Melihat hal itu, seorang ibu paruh baya yang lain menyentuh bahunya. Mau pinjam hape untuk menelpon anak, katanya. Nah kan? Orang-orang yang melihat kebaikannya malah memanfaatkan dia.
Kalau aku jadi pemuda itu, sudah kutolak permintaan itu. Enak saja. Kebaikanku malah dimanfaatkan seenaknya.
Tapi kasusnya berbeda. Ia meminjamkan ponselnya kepada ibu itu, tersenyum ikhlas. Dengan nada lembut ia berikan ponselnya, dan dengan sopan bertanya "Sudah, Bu?" ketika mendapatkan ponselnya kembali.
Aku takjub. Di bangku kuliah, aku diajari bahwa egois adalah sifat dasar manusia. Apapun yang terjadi, manusia akan mendahulukan kepentingannya sendiri. Tapi tidak dengan apa yang kulihat siang itu. Pertama, pemuda ini memberikan tempat duduknya untuk orang lain. Kedua, bisa-bisanya ia meminjamkan ponsel pada ibu-ibu yang jelas-jelas memanfaatkan kebaikannya. Tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin berbuat baik.
Dengan memberikan kursi pada ibu-ibu yang pertama, ia memberikan kenyamanannya. Duduk di kuri bus tentu lebih nyaman daripada harus berdiri. Apa yang ia dapat sebagai ganti? Tidak ada. Dan aku yakin ia tidak mengharap imbalan apapun bentuknya.
Tidak berhenti di situ, ia meminjamkan ponselnya pada orang tidak dikenal! Apa ada jaminan ponsel itu akan kembali ke tangannya? Tidak. Tapi ia memilih untuk berbuat baik. Ia memilih untuk tidak mementingkan diri sendiri.
***
Dari Pemuda Tampan di Bus Jurusan Jombang, aku belajar arti kebaikan. Bahwa hidup bukanlah tentang diri sendiri. Tidak akan pernah. Hidup bersama orang lain berarti memperjuangkan kepentingan mereka juga. Terutama mereka yang kiranya lebih membutuhkan.
Dari Pemuda Tampan di Bus Jurusan Jombang, aku belajar arti kemanusiaan. Bahwa manusia adalah mereka yang melepaskan kenyamanannya demi kenyamanan orang lain. Dihargai atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting ia bisa berbuat baik pada yang membutuhkan.
Dari Pemuda Tampan di Bus Jurusan Jombang, aku belajar arti pilihan. Ia sebenarnya bisa saja memilih untuk tidak memberikan kursinya, dan tidak meminjamkan ponselnya. Tapi itu semua bukan pilihan baginya. Hidup adalah soal pilihan. Dan di antara semua pilihan di dunia, pemuda ini memilih jadi orang baik.
Dari Pemuda Tampan di Bus Jurusan Jombang, aku belajar arti keikhlasan. Aku yakin ia berbuat baik tanpa alasan. Ya, berbuat baik demi kebaikan itu sendiri. Bukan demi imbalan atau uang. Dibalas uang pun, aku tidak yakin dia mau. Seandainya ibu yang ia beri kursi membayar harga tiket bus sepuluh kali lipat padanya, aku yakin ia akan menolak.
Ibu itu bisa mengganti ongkos karcis busnya. Tapi tidak dengan niat baik dan keihlasannya. Ia tidak melakukan itu demi uang, dan memberinya uang adalah bentuk penghinaan atas keikhlasannya.
Menguangkan kebaikan adalah cara paling mudah untuk mengerdilkan kebaikan itu sendiri.
Ade Jaya