Nenek Moyangku Seorang...
- Pambayung
- Mar 16, 2022
- 2 min read
Nenek moyangku seorang pelaut Gemar mengarung luas samudra Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Angin bertiup layar terkembang Ombak berdebur di tepi pantai Pemuda brani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai
Sebagai negara maritim, terdapat banyak hasil kebudayaan Indonesia yang menjadikan laut, atau perairan pada umumnya, sebagai objek pembahasan. Salah satu contohnya adalah lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" yang sering Mama nyanyikan untukku saat aku kecil. Menggambarkan betapa tangguhnya nenek moyang dari sosok sosok "Aku", yang "Menerjang ombak tiada takut" dan "Menempuh badai sudah biasa".
Tapi, kiranya, bentuk hasil budaya bernuansa laut yang lebih sering saya temui sekarang adalah ungkapan "Nahkoda hebat tidak lahir dari lautan tenang" atau "Nahkoda hebat hanya dilahirkan oleh ombak yang tinggi". Sebuah perkataan yang menyiratkan arti bahwa ketika kita memang diuji, sejatinya ujian itu adalah untuk menempa kita menjadi "nahkoda" yang lebih hebat.
Ungkapan ini juga sering saya katakan kepada kawan-kawan saya yang sedang merasa tidak percaya diri ketika dihadapkan dengan sebuah masalah. Overwhelmed, kalau kata orang-orang twitter itu. Dari sana, saya seakan berkata "Kamu akan menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh setelah melewati badai dan ombak tinggi ini."
Badai dan ombak tinggi mungkin memang lambat laun merusak kapal. tetapi tidak dengan nahkoda yang mengendalikannya. Sebaliknya, nahkoda itu akan menjadi semakin berpengalaman, semakin terbiasa menghadapi ombak-ombak tinggi yang dihantamkan hidup kepadanya. Semakin sering ia menaklukkan badai, semakin kecil kegentaran hatinya ketika dihadapkan dengan badai lain.
Begitu pula manusia. Menurut ungkapan ini, apabila seorang manusia bisa menghadapi permasalahannya, maka ia akan menjadi lebih hebat. Jika seseorang mampu menyelesaikan problematika yang ia hadapi, maka ia akan menjadi semakin terbiasa menghadapi masalah-masalah lainnya.
Anda menyadari sesuatu?
Poin penentunya terletak pada "bisa" dan "mampu". Seseorang hanya akan menjadi lebih baik apabila ia bisa menyelesaikan permasalahannya. Bagaimana dengan yang tidak? Memang, Tuhan menyimpan ombak yang tinggi hanya untuk nahkoda-nahkoda yang mempu melewatinya. Tapi kalau begitu, tidak akan kita jumpai banyak bangkai kapal di dasar laut, bukan?
Masalahnya, sedari awal, tidak semua nahkoda mampu membawa perbekalan dari pelabuhan untuk menghadapi badai. Mungkin mereka hanya mampu membawa sekoci kecil, kapal rapuh, dan satu layar yang enggan terkembang sempurna. Mereka memang tidak didesain untuk menghadapi badai dan ombak tinggi. Karena mungkin, niat mereka hanya menebar jala untuk makan esok hari.
Maka sudah kepalang jelas mereka tidak mampu melewati badai. Namun apakah itu bisa menjadi bukti bahwa mereka nahkoda yang kurang cakap? Seperti contoh di atas, bisa saja mereka cakap menerjang badai, namun tidak mampu membeli kapal yang kuat untuk itu. Akibatnya, mereka tidak bisa menjadi "nahkoda hebat" karena tidak "dilahirkan oleh ombak yang tinggi". Pada akhirnya, nahkoda-nahkoda yang sebenarnya hebat ini dikalahkan oleh rintangan sistemik yang membuat mereka tidak bisa meraih titel "Nahkoda hebat yang dilahirkan oleh ombak tinggi."
Lebih jauh, bagaimana nasib mereka yang sudah menerjang ombak tetapi menjadi nahkoda yang tidak lebih baik? Bagaimana jika mereka takut mengarungi laut karena mereka pernah mengarungi ombak tinggi? Bagaimana jika, saking dahsyatnya badai yang mereka lawan, mereka memutuskan untuk melempar sauh dan tidak berlayar lagi? Dan yang paling parah, bagaimana dengan mereka yang memutuskan untuk tenggelam?
Nahkoda hebat mungkin memang dilahirkan dari ombak tinggi.
Tapi bagaimana dengan mereka yang karam?
Comments