Kita Ini Memang Kecil Sekali, Ya?
- Pambayung
- Jun 24, 2024
- 3 min read
Tempo hari, di sela-sela kesibukan menulis paper untuk UAS, saya menyempatkan diri menonton trilogi comfort movie kesukaan saya: Men in Black. Film yang dibintangi Will Smith dan Tommy Lee Jones itu menceritakan aksi dua agen badan rahasia yang mengurusi kehidupan alien di bumi.
Di salah satu after credit scene-nya, diperlihatkan bumi yang di zoom out terus menerus, sampai tata surya, galaksi bimasakti, konstelasi bintang, galaksi, kumpulan galaksi-galaksi, hingga keseluruhan alam semesta. Adegan itu lantas membuat saya merasa kecil di hadapan alam semesta yang begitu luasnya. Saya tiba-tiba disambar kesadaran bahwa diri saya ini tak lebih dari sekadar debu alam semesta.
Tapi belakangan ini, saya memang sedang merasa kecil. Kecil dan tak berdaya. Serasa banyak sekali hal yang berada di luar kendali saya. Terlalu banyak, bahkan.
Tempo hari, saya bersama kawan-kawan pers mahasiswa dan senior-senior di Aliansi Jurnalis Independen melakukan konsolidasi terhadap aksi untuk menolak RUU Penyiaran yang menihilkan peran wartawan. Aturan yang melucuti hak pers untuk melakukan kegiatan investigasi itu merugikan publik. Dalam pertemuan itu nampak wajah-wajah cemas, wajah-wajah lelah, dan wajah-wajah yang mencoba tegar dalam senyum. Betapa tidak? Ada kemungkinan aturan itu bakal disahkan menjelang akhir tahun ini, yang berarti tamat juga riwayat kehidupan pers yang sehat di negeri ini. Ketakutan dan rasa tidak berdaya menyeruak dalam dada saya kala itu. Senayan, aturan, pemerintah, negara. Semuanya terasa jauuuuuh sekali di luar jangkauan tangan-tangan kecil kami.
Bukan hanya RUU penyiaran. Terlalu banyak calon-calon aturan yang memiliki pasal-pasal bermasalah, yang bakal mempengaruhi tata kehidupan kita seandainya benar disahkan: UU Tapera, kenaikan UKT, UU TNI - Polri, usia kepala daerah, izin pengelolaan tambang bagi ormas, dan seterusnya. Lagi-lagi, rasanya para bapak-ibu di Ibu Kota dapat dengan mudah me-gol kan aturan-aturan itu tanpa andil rakyat kecil seperti saya. Sungguh, saya merasa tidak berdaya.
Itu pula yang saya rasakan ketika mendapati postingan tentang Gaza, Kongo, Ukraina, Sahara Barat, Rohingya, dan berbagai tempat di belahan dunia lain yang masyarakatnya ditindas takdir, dihadapkan pada opresi, moncong senjata, dan serpih-serpih tragedi tiap membuka mata. Apalagi ketika saya melihat kabar saudara-saudara sebangsa saya yang mati-matian bertahan hidup di tanah air sendiri, menghadapi relasi kuasa timpang dan ketidak adilan: sengketa lahan di Pakel Banyuwangi, tambang pasir ilegal di Kali Progo, Yogyakarta, penggundulan hutan untuk sawit di Papua, penggusuran Kampung Bayam di Jakarta, konflik lahan di Dago Elos, dan seterusnya, dan seterusnya.
Reportase-reportase semasa saya masih aktif jadi jurnalis kampus. Diskusi-diskusi. Pertemuan dengan korban-korban konflik. Orasi. Puisi. Aksi-aksi. Seakan menguap tanpa arti. Lagi-lagi, saya merasa kecil sekali. Membaca tiga paragraf di atas saja serasa letih, membayangkan apa yang saudara-saudara kita lalui setiap hari. Ada pertarungan setiap kali membuka mata. Ada hidup yang harus dipertahankan setiap hari. Dan saya di sini, tak mampu meringankan beban mereka barang sedikit.
Pun demikian dengan setiap kabar suhu bumi yang semakin naik. Iklim yang kian tidak menentu. Langit yang semakin gelap berkat industri yang asapnya pekat. Biota yang punah satu persatu, dan hutan yang menggundul sebab industrialisasi. Es yang mencair di kutub sampai alam yang rusak karena tambang yang dieksploitasi. Dan mereka masih meyakinkan saya untuk memakai sedotan stainless steel saat Taylor Swift kemana-mana pakai jet pribadi.
Mungkin manusia memang dikutuk dengan ketidak mampuan untuk melawan uang dan kuasa. Untuk merasa enggan dengan laku-laku altruistik. Terlena dengan sosok yang kita lihat di depan cermin. Sungguh, aku takut sekali jika suatu hari saya berkaca dan mendapati saya bukan lagi manusia. Sebab telah hilang rasa tak berdaya saya melihat kerusakan dan ketidak adilan. Berganti ketidak acuhan. Berganti keakuan.
Namun terkadang, di kesempatan yang sangat jarang, saya mendapati diri memungut serpihan-serpihan kecil kebahagiaan dengan kabar-kabar yang menyambung harapan. Seperti ketika aktivis Fatia-Haris dibebaskan buntut penuntutan pasal penghinaan pejabat. Atau sesederhana kalimat "I am still alive" dari para warganet asal Palestina. Toh nyatanya beberapa rancangan undang-undang ditunda pengesahannya. Dan saham beberapa perusahaan anjlok akibat boikot.
Entah, mungkin ini usaha menghibur diri sendiri, mungkin juga hasil keputus asaan atas rusaknya dunia dan ketidak mampuan saya membuat perubahan. Tapi mungkin justru karena kita sebenarnya tidak mampu melakukan apa-apa, kita tidak dibebani dengan ekspektasi untuk berhasil melakukan apa-apa. Termasuk membuat dunia jadi lebih baik. Benar, kita akan gagal. Tapi itu tidak apa-apa. Sekadar retweet soal kabar di Papua, tidak menggunakan merk yang diboikot, menyisihkan uang saku untuk menyumbang saudara-saudara kita yang ingin keluar dari Gaza, bikin diskusi kecil-kecilan soal perubahan iklim, semuanya justru menjadi bermakna karena kita tetap memiliki harapan atas hal-hal baik, kendati sejatinya tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Kita tahu berbuat baik tidak akan mengubah dunia, tapi kita tetap memiliki iman bahwa dunia akan menjadi sedikit lebih baik, dengan satu perbaikan dari kita.
Tentu, dalam kondisi ideal - dan utopis - saya akan mengajak untuk membuat gerakan politik alternatif, berserikat melawan ketidak adilan, atau bikin kampanye besar-besaran soal kemanusiaan. Tapi sampai hal-hal itu mungkin jadi kenyataan, mari berbuat baik walau kecil-kecilan. Dengan selemah-lemah iman. Dengan setipis benang harapan. Dengan segala keterbatasan, rasa kecil, dan ketidak mampuan. Semoga.
Comments