top of page
Search

Mumpung Masih Mei

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • May 26, 2022
  • 2 min read

Ada yang lucu dari bulan Mei tahun ini. Tanggal satu diperingati sebagai Hari Buruh, tanggal dua-nya Hardiknas, sekaligus Idul Fitri 1443 H. Hal ini seperti menyiratkan bahwa ada "buruh" dalam sistem pendidikan kita yang harus memaafkan sistem yang tidak berpihak kepadanya: guru honorer.


Sebagai orang yang melek literasi, saya asumsikan begitu, kalian pasti sering mendengar cerita tentang guru honorer di media sosial. Mereka yang belasan tahun mengabdi untuk menanamkan ilmu pengetahuan pada pikiran-pikiran belia.


Menjadi buruh pendidikan tentu bukan hal yang bisa dilakukan semua orang. Logika orang biasa pasti tidak mampu memahami guru honorer. "Kenapa repot-repot belasan tahun bekerja di tempat yang melelahkan dengan gaji yang tidak seberapa?".


Saya kenal betul seseorang yang menjadi guru honorer selama puluhan tahun. Beliau mengajar di yayasan yang terletak di sebuah kampung di Kediri. Beliau mengajar sejak awal tahun 2000-an hingga sekarang, dan hanya pernah berhenti sebentar ketika mengandung anaknya yang pertama. Aku memanggil beliau dengan sebutan "Mama".


Mama mengajar sejak sebelum menikah, dan hanya berhenti ketika mengandungku. Setelahnya, beliau kembali mengajar lagi hingga sekarang. Suatu waktu, ketika Mama mendapatkan honor hasil jerih payahnya mengajar selama satu bulan, aku iseng mengintip amplopnya.


Dan benar saja. Jumlahnya, menurutku, sangat tidak sebanding dengan usahanya setiap hari bangun pagi dan berangkat belasan kilo meter ke tempat kerjanya. Belum lagi mengurusi masalah perangkat pembelajaran dan tetek bengek lainnya.


Aku tidak habis pikir. Kenapa Mama bisa, dan mau, belasan tahun bercapek-capek seperti ini. Ketika aku tanya, Mama menjawab singkat "Ya namanya saja pahlawan tanpa tanda jasa." aku terdiam.


Masyarakat kita sudah menormalisasi keadaan seperti ini. Kondisi di mana guru honorer tidak digaji dengan layak, tidak dilihat sebagai sebuah kesalahan. Berbagai program pendidikan dan kurikulum baru diperkenalkan, tanpa mengindahkan guru-guru honorer yang tertatih mengikuti di belakang.


Tapi mungkin poinnya bukan itu, Bukan materi. Uang dan gaji bahkan menjadi variabel yang tidak masuk hitungan para guru honorer ini. Itupun kalau mereka hitung-hitungan.


Guru honorer lain yang saya kenal sering berkata bahwa tidak ada masalah asal ia bisa bermanfaat. Tapi "bermanfaat" dan "dimanfaatkan" itu jauh berbeda. Status quo-nya, Kebaikan hati dan kemuliaan guru honorer dimanfaatkan oleh sistem pendidikan yang tidak bisa memperlakukan tenaga pengajarnya dengan layak.

 
 
 

Comments


bottom of page