Membaca yang Bukan Huruf
- Pambayung
- Mar 24, 2022
- 2 min read
Karena Papa sering membelikan saya buku bacaan bergambar sewaktu saya kecil, saya jadi suka membaca. Buku-buku tersebut berukuran sedikit lebih besar daripada buku tulis, dan setiap halamannya hanya memuat satu paragraf, sisanya diisi dengan gambar-gambar dan ilustrasi yang bikin mata anak-anak tidak cepat mengantuk.
Hobi membaca yang saya miliki ini terbawa sampai saya duduk di bangku SD, saat di mana buku-buku bacaan bergambar itu lambat laun berubah menjadi majalah anak-anak dwimingguan macam Mentari dan Bobo, lalu bertransformasi lagi menjadi novel-novel tipis bertemakan anak-anak. Titik baliknya adalah saat Papa membelikan saya novel Supernova. Setiap hari, saya bisa melahap dua ratusan halaman novel karya Dee Lestari itu.
Melihat itu, Mama menasihati saya untuk membaca sesuatu yang lain. "Membaca kan bukan hanya sekadar buku." dhawuh Mama menasihatiku kala itu. Pikiranku langsung berasumsi bahwa yang Mama maksud adalah untuk membaca kitab suci agama kami. Kebetulan pula, dalam kitab suci tersebut, kata pertama yang turun sebagai wahyu adalah perintah untuk membaca. Maka bukannya tanpa alasan aku berasumsi bahwa Mama mengutusku, secara tidak langsung, untuk lebih sering mengaji.
Tetapi ternyata bukan itu yang Mama maksud.
"Membaca, kan bisa membaca situasi, membaca perasaan orang lain." jelasnya. Pada saat itu aku hanya mengangguk-angguk, merasa hal tersebut bukanlah hal yang sulit. Wajar, karena sebagai anak, cukup mudah untuk membaca perasaan orang lain. Tidak ada perasaan yang disembunyikan anak kecil. Karena mereka memang belum perlu melakukan itu, bukan?
Akan tetapi, dewasa ini, saya merasa sangat kesulitan memahami perasaan orang lain, apalagi mengambil sikap terhadap hal tersebut. Pernah pada suatu waktu, kawan saya menangis dan, sumpah, saya tidak tahu cara meredakan tangisannya. Saya hanya menyentuhi tubuhnya dengan telunjuk saya (aneh, kan? apa kubilang?), dan mengatakan lirih "He, jangan menangis...jangan menangis" yang mana malah membuat tangisannya semakin menjadi. Tolong. Aku harus apa? :(
Soal membaca situasi juga tidak jauh berbeda. Saya payah sekali dalam membaca vibe ruangan. Sering kali, saat saya mengatakan sesuatu yang lucu (menurut saya), ada saja yang langsung menyatakan ketersinggungannya di depan muka saya. Saat itu juga. Tanpa fafifu langsung "Ghulam, aku tersinggung." atau "Ghulam, itu sudah bukan bercanda, sih." oh atau yang paling umum "Cok menengo." dan "Shut the fuck up, Lam." Di saat-saat seperti itu, saya langsung teringat nasihat Mama: harus belajar membaca perasaan orang lain, membaca situasi.
Mungkin keinginan, tenaga, dan waktu saya sudah berkurang jauh untuk bisa menghabiskan ratusan halaman per hari seperti dulu. Tapi mungkin ini memang sudah digariskan, agar saya tidak lagi fokus kepada membaca huruf-huruf, melainkan juga belajar membaca yang bukan huruf.
Comments