top of page
Search

Mau Jadi Apa?

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Mar 13, 2022
  • 2 min read

Pertanyaan "Mau jadi apa kamu nanti?" adalah pertanyaan yang sangat kontekstual. Ia bisa ditanyakan kepada murid yang nakalnya setengah mati, maupun kepada mereka yang dianggap rajin, berbakat, dan memiliki masa depan cerah.


Namun, bagi saya dan teman-teman sejurusan saya di HI, pertanyaan semacam ini adalah sumber keresahan. Mereka yang tidak mengerti akan langsung mengasumsikan kami ingin jadi duta atau menlu. Mereka yang mengerti, di sisi lain, menanyakan hal ini dengan maksud sebenar-benarnya meragukan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi lulusan jurusan kami.


Sebagian dari kami yang memang belum punya bayangan nanti lulus jadi apa, hanya bisa nyengir pahit. Berbeda dari kawan-kawan saya dari, misalnya, jurusan pendidikan yang bisa menjawab dengan mantab lulus nanti mau jadi apa, jurusan saya tidak memberikan kejelasan jenjang karir yang pasti.


Dilema ini juga pasti dirasakan oleh kawan-kawan yang memutuskan untuk mengambil jurusan yang vague jenjang karirnya setelah lulus. "Ngapain ambil x? Mau jadi apa?" "Kenapa ambil y? Nggak ada duitnya!" Dan seterusnya, dan seterusnya. Tentu, pilihan jenjang karir dan range penghasilan adalah salah satu pertimbangan ketika memilih suatu pendidikan. Akan tetapi, bukankah kita akan mendiskreditkan suatu ilmu kalau semuanya dihubungkan dengan karir dan materi?


Bagaimana dengan semangat belajar untuk belajar? Apa yang terjadi dengan keinginan mempelajari suatu ilmu karena kecintaan terhadap ilmu itu sendiri dan proses untuk mendapatkannya?


Kalau mau ndakik-ndakik, segala sesuatu yang dipikirkan itu ada (exist), dan segala yang exist itu pasti pernah, setidaknya, terlintas di pikiran manusia. Orang-orang pintar itu bilang Cogito Ergo Sum. Ha kalau saya yang bodoh-saja-belum ini ya cuman bisa ngangguk-angguk saja.


Gini lho ya. Karena dia ada sebagai cabang ilmu, berarti dia sudah melalui proses pemikiran dan penstrukturan sedemikian rupa sehingga bisa dipelajari. Ha berarti ya ada lapangan kerjanya. Setidaknya jadi yang ngajar, heuheuheu.


Pikiran kita terlalu terkotak-kotak sehingga menarik kesimpulan bahwa kapabilitas kita ditentukan dan dibatasi oleh bidang ilmu yang kita pelajari. Padahal dalam proses pembelajaran itu, ada banyak sekali pilihan dan jalan yang bisa diambil. Toh sekolah atau bangku kuliah bukan satu-satunya jalan mencari ilmu dan, nantinya, pekerjaan.


Banyak sekali contoh orang yang akhirnya bisa membangun karir bukan dari bidang ilmunya, melainkan skill "sampingan" yang dipelajari dalam proses mempelajari bidang ilmunya. Makanya, banyaknya jumlah komunitas, organisasi, ekskul, dan wadah-wadah pengembangan diri lain, ya untuk mengakomodasi keperluan ini.


Dan menurut saya sangat bodoh untuk mengklaim suatu bidang tidak bisa menghasilkan uang di zaman di mana kentut-yang-ditaruh-toples dan dijual saja bisa menghasilkan uang. Sumpah, dia masuk insider dan forbes karena menghasilkan banyak uang dengan....menjual kentut. Di dalam toples. Yang seperti itu saja bisa bikin duit, apalagi kamu yang terdidik?


Mungkin saya bisa menulis sesuatu yang sangat utopis seperti ini karena memang belum merasakan sulitnya kehidupan "nyata" ketika dihadapkan pada pilihan karir dan kebutuhan akan uang yang dihasilkan sendiri. Tapi tolonglah, di dunia yang hiperkapitalis ini, semua hal bisa menjadi komoditas yang diperjual belikan. Jadi, pertanyaan "Kamu mau jadi apa belajar itu? Ndak ada duitnya!" sesungguhnya adalah pertanyaan kuno dan boomer sekali.


Nah, sekarang, mau menjawab pertanyaan "Mau jadi apa" dengan jawaban seperti apapun, itu pilihan kalian. Tapi ingat, selalu ada pilihan untuk menjawab "Mau jual kentut di dalam toples,".

 
 
 

Comments


bottom of page