top of page
Search

Mari Tidak Cinta Damai

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Jul 30, 2022
  • 2 min read

Trigger Warning: Tulisan ini akan membahas hal-hal yang mungkin traumatis bagi beberapa orang. Kebijakan pembaca sangat disarankan.


Perlu waktu bagi saya untuk mengondisikan diri hingga memutuskan untuk menulis ini. Masih terbayang betapa kaget diri saya ketika membaca headline berita tersebut. Seorang anak dirundung, dipaksa untuk menyetubuhi kucing, meninggal. Bahkan hingga sekarang pun, saya masih emosi jika mengingat hal itu Bayangan-bayangan perundungan yang saya alami sewaktu SD terulang kembali. Saya cukup beruntung menjadi survivor bullying. Tapi tidak dengan anak ini. Itu juga fakta yang membuat saya lebih sedih: ia tidak seberuntung saya. Saya tidak bisa membayangkan kesedihan dan tekanan macam apa yang dialami bocah tersebut.


Tapi bangsatnya, kok masih ada saja orang yang bilang ini cuma kenakalan anak-anak biasa dan menyuruh pihak-pihak yang terlibat untuk menyelesaikan secara kekeluargaan agar kasus berakhir damai. Damai matamu, cuk?


Harga apa yang pantas dibayar untuk menebus perdamaian? Apakah nyawa seorang anak bisa menjadi harga pembenaran sistem yang memungkinkan perundungan terjadi?


Cacat logika perdamaian ini sering kita temui di negara ini. Korban perundungan disuruh damai dengan pelaku. Korban pemerkosaan disuruh kawin dengan pemerkosa. Katanya negara hukum? Law enforcement-nya mana? Sebegitu alerginya ya kita sama konflik?


Conflict is bound to happen. Namanya ada interaksi sosial antar masyarakat, ya pasti memunculkan konflik. Yang penting adalah bagaimana konflik itu bisa terselesaikan sesuai dengan hukum. Bukan malah menghindari penyelesaikan konflik dengan dasar "damai aja, ya?" Damai gundulmu. Ya kalaupun berakhir damai, harusnya ditempuh melalui jalur hukum perundang-undangan yang berlaku, dong? Bukan malah memutar menghindarinya.


Ha buat apa hukum dibuat kalau semua akhirnya diputuskan dengan "damai aja, ya?"


Kembali ke masalah perundungan. Yang korban butuhkan, dulu, sebenarnya bukan perdamaian. Dia sedang dirugikan oleh relasi kekuatan yang tidak seimbang antara dia sebagai korban dan teman-temannya sebagai pelaku. Yang ia butuhkan adalah suatu hal yang bisa menyeimbangkan relasi kekuatan tersebut. Bentuk paling mudahnya adalah safe place untuk mengadu, berupa orang dewasa. Orang dewasalah nanti yang bertugas untuk menyeimbangkan relasi antara si korban dan pelaku. Karena orang dewasa memiliki kekuatan yang lebih besar daripada pelaku.


Tapi tidak semua korban mendapatkan itu.


Karena sialnya, tidak semua orang dewasa mengerti kebutuhan anak yang sedang dirundung. Kebanyakan dari mereka melihat perundungan sebagai kenakalan anak SD semata. Padahal yang terjadi jauh lebih besar dari itu. Luka batin (dan mungkin fisik) yang dihasilkan oleh perundungan akan terbawa hingga mereka dewasa. Sampai sekarang pun saya masih ingat detil kejadian ketika kepala saya terbentur dudukan dari semen. Atau ketika saya ditendang oleh perundung saya. Atau ketika badan kecil saya ramai-ramai dimasukkan ke tempat sampah.


Perundungan bisa berdampak sebesar itu. Dan korban tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan perundungan yang menimpanya sendirian. Karena mayoritas kasus perundungan melibatkan beberapa anak sebagai pelaku. Anak-anak yang lain juga jarang mau ikut terlibat karena takut mereka ikut dibully. Makanya, hanya orang dewasa yang bisa menyelesaikan kasus perundungan.


Dan karenanya, di sini saya meminta kepada orang dewasa, tolong jangan terlalu cinta damai.


Jangan cinta damai kalau damai tidak membawa ruang aman bagi korban.

Jangan cinta damai kalau damai melanggengkan budaya relasi kuasa yang tidak sehat.

Jangan cinta damai kalau damai membungkam suara yang seharusnya didengar.

Jangan cinta damai kalau damai membuat pelaku merasa dirinya menang.

Jangan cinta damai kalau damai membuat korban merasa sendirian.

Karena korban membutuhkan keadilan, bukan perdamaian.

 
 
 

Comments


bottom of page