(Mantan) Anak Pintar
- Pambayung
- Jan 24, 2023
- 3 min read
Halo, anak-anak yang (dulu) pernah dianggap brilian tapi sekarang terpuruk oleh kondisi akademik! Apa kabar? Nilai aman?
Satu minggu lagi liburan semester saya selesai. Tapi saya dan kawan-kawan sepertinya masih belum bisa move-on dari index prestasi (IP) kami yang terjun bebas semester ini. Kartu hasil studi kami yang biasanya dipenuhi huruf A, kini harus menyisakan banyak ruang, terlalu banyak bahkan, untuk huruf B dan bahkan C. Ada apa?
Mengesampingkan index nilai minimum yang memang naik, gegar yang saya dan kawan-kawan alami sebenarnya disebabkan oleh satu hal. Kami tidak siap dihadapkan pada konsekuensi mendapat nilai buruk: belajar lebih keras. Mari saya jelaskan.
Beberapa anak dilahirkan dengan kemampuan akademis yang lebih baik dari yang lain. (Mengesampingkan jenis-jenis kepandaian lain, tentunya, di sini saya hanya berbicara mengenai kepandaian yang diukur di sekolah menggunakan nilai). Kita menyebut anak-anak ini dengan nama gifted kids. Anak-anak yang berbakat. Mereka memiliki modalitas belajar di atas rata-rata, sehingga dapat mencapai hasil akademik yang sama dengan anak biasa bahkan tanpa berusaha.
Begini gambaran sederhananya: di bangku TK, mereka sudah lancar membaca dan memahami kalimat lebih dulu daripada teman-teman sebayanya. Di sekolah dasar, mereka berhasil mengerjakan operasi hitung dan menghafal rumus-rumus luas bangun datar di luar kepala. Dan seterusnya, dan seterusnya. Sekali lagi, mereka melakukan itu dengan usaha yang minimal.
Dengan kata lain, para anak berbakat ini mengeluarkan usaha yang lebih sedikit untuk mencapai hasil yang sama dengan anak-anak lain. Terdengar sangat elitis memang, but it is what it is.
Sayangnya, bakat tersebut datang bersama kutukan.
Karena tidak pernah merasa perlu untuk berusaha lebih, anak-anak berbakat ini jadi tidak terbiasa berusaha lebih. Ibarat besi, mereka adalah besi yang bentuk awalnya sudah bagus, sehingga tidak perlu ditempa dengan keras. Yang menjadi masalah: besi-besi tersebut akan patah sekalinya harus ditempa.
Karena tidak terbiasa berusaha, mereka akan merasa gegar ketika dipaksa melakukan usaha yang, setidaknya, sama dengan anak-anak lain. Berusaha dengan keras adalah penghinaan bagi mereka yang sejak kecil sudah terbiasa dengan kemenangan dan tepuk tangan tanpa melakukan apa-apa.
Saya teringat ujaran salah seorang motivator pada acara di MTs saya. Kala itu ia memberikan materi kepada saya dan teman-teman peserta kelas akselerasi. Kelas yang (katanya) dipenuhi oleh anak-anak berbakat.
Dia berkata, "Kalian mungkin tiga kali lebih pintar dari saya. Tapi itu hanya berarti bahwa saya harus berusaha tiga kali lebih keras."
(((Berusaha tiga kali lebih keras)))
Itulah privilise yang dimiliki gifted kids: Mendapat hasil maksimal dengan usaha minimal.
Di sisi lain, ada pula privilise anak biasa: Kondisi memaksa mereka untuk terbiasa dengan berusaha.
Dalam jangka panjang, manakah yang akan mendapat hasil lebih baik? Yap. Kedua.
In the long run, anak-anak yang (((katanya))) berbakat dan brilian tadi akan mengalami kesulitan untuk mengatasi tantangan-tantangan baru yang mengharuskan mereka untuk mengeluarkan usaha yang lebih dari biasanya. Di sisi lain, anak-anak yang sudah terbiasa berusaha akan menganggap itu sebagai another Monday. Kata "berusaha" sudah menjadi makanan sehari-hari.
Begitu pula dengan kegagalan. Ketika dihadapkan pada kegagalan, anak-anak gifted akan cenderung merasa lebih hancur daripada anak-anak biasa. Karena, shock dari kegagalan tersebut tidak hanya berasal dari kegagalan itu sendiri, melainkan juga dari kesadaran bahwa mereka, ternyata, harus berusaha lebih keras. Sesuatu yang belum pernah mereka lakukan.
Mereka tak ubahnya ikan besar yang dulunya berada di kolam kecil, kemudian mendapati diri mereka di kolam besar. Dulu, mereka bisa mendapatkan makanan tanpa perlu berusaha berenang kesana-kemari. Kolam itu cukup kecil bagi mereka untuk bisa dapat makanan tanpa harus berusaha keras. Nah, ketika dipindahkan ke kolam besar, ikan-ikan ini kaget karena mereka tidak bisa mendapat makanan dengan hanya berdiam diri saja. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, mereka harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang sebelumnya mereka peroleh dengan mudah dan nyaris tanpa usaha.
Begitupun dengan nilai. (Kalimat berikut ini akan terdengar sangat-sangat sombong, mind you.) Mungkin, untuk pertama kalinya, terdapat kesadaran dalam diri saya bahwa saya harus berusaha untuk mendapatkan nilai bagus. Sesuatu yang sebelumnya taken for granted, menjadi harus didapatkan dengan usaha. Sesuatu yang asing.
Fase ini dialami dalam masa yang berbeda-beda. Ada gifted kid yang mengalami gegar ini ketika SMP, SMA, gagal lomba, mendapat IP jelek, tertolak wawancara, dan lain sebagainya. Polanya sama: sesuatu yang dulu didapat dengan mudah, tiba-tiba menjadi sulit. Twice the pride, double the fall.
Tapi, toh, tidak apa-apa. TIdak menjadi gifted tidak akan membuat dunia kiamat. Tenang saja, Anda bukan satu-satunya. Merefleksikan diri akan privilise-privilise yang kita miliki menjadi titik awal untuk menerima diri yang baru. Diri yang tidak sempurna, diri yang boleh mendapat nilai jelek, diri yang asing. Toh, menerima kelemahan dengan sendirinya merupakan suatu kekuatan. Jadilah rapuh, jadilah tidak sempurna, jadilah penuh luka. Buat kesalahan, alami kegagalan, dan belajar dari kesalahan. Tidak apa-apa.
Menelan pil pahit bernama kenyataan memang tidaklah mudah. Karena terdapat rintangan berupa ego yang harus disingkirkan dulu. Mungkin akan sangat bijaksana untuk (mulai) menyadari bahwa saya dan Anda memang perlu berusaha lebih keras. Sudah bukan waktunya menjadi anak gifted. Sudah waktunya menjadi besi yang siap selalu ditempa, dan ikan yang berusaha hingga berdarah-darah untuk mencapai tujuannya. Tujuan yang dulu didapatkan tanpa berusaha.
Karena sekarang, kata "gifted" adalah kemewahan yang seharusnya sudah dari dulu kita tinggalkan.
Memang sering ketika masa perkuliahan pun terpikirkan keinginan mendapat nilai yang memuaskan, tetapi di sisi lain juga terdapat dilematis antara fokus organisasi atau akademis. Intinya, keduanya ngga bisa dijalanin bersamaan, ya walaupun bisa disambi ringan-ringanan. Pengorbanan salah satu di antara kedua dilematis tersebut menjadi jalan alternatif dalam menjalankan fokus diri yang lebih matang karena tidak bisa dimungkiri juga, bahwa setiap insan pun punya prefensi masing-masing.