top of page
Search

Laki-Laki (tidak) Boleh Menangis

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Feb 26, 2023
  • 2 min read

"Laki-laki itu gak boleh cengeng!"

Kalimat di atas mungkin adalah salah satu kalimat yang paling sering aku dengar waktu kecil. Tumbuh di lingkungan penuh perundungan, aku sering menangis baik di rumah maupun di sekolah. Sialnya, hal itu malah membuatku tambah dirundung. Dilabel cengeng dan "tidak jantan".


Laki-laki memang tidak menangis, tapi hatinya berdarah, Dik. Kalimat barusan adalah judul buku tulisan Alm. Cak Rusdi Mathari. Judul itu sepenuhnya merangkum dan menggambarkan situasi di mana laki-laki selalu dicitrakan sebagai sosok yang *harus* tegar dalam situasi apapun. Tidak peduli tekanan, tidak peduli keadaan. Pokoknya tidak boleh menangis. Titik. Tidak ada pertanyaan.


Lingkungan sosial yang patriarkis di Indonesia sesungguhnya juga membawa dampak buruk bagi lelaki: karena terdapat ekspektasi bahwa mereka harus selalu "kuat" dan "tegar", mereka sering kali harus merepresi emosi. Menunjukkan air mata adalah kelemahan. Dan masyarakat kita tidak mentoleransi laki-laki lemah. Makanya, laki-laki tidak boleh menangis. Titik. Tidak ada pertanyaan.


Hal ini tentu menjadi masalah lantaran menangis adalah respons yang sangat wajar bagi suatu emosi. Dan memiliki emosi adalah fitrah bagi setiap manusia. Menunjukkan emosi adalah hak asasi. Tapi nyatanya tidak begitu.


Ada berapa laki-laki yang menangis diam-diam karena malu dicap cengeng kala mencurahkan hati kepada kawan? Ada berapa laki-laki yang mengakhiri hidup karena memendam kesedihan dalam dan tidak boleh menitikkan air mata? Ada berapa laki-laki yang (sebenarnya) ingin menangis?


Papa tidak pernah menangis di depan anak-anaknya. Tidak sekalipun. Dan ia menyengaja hal itu. Pernah sekali saya mencuri dengar pembicaraan Papa entah dengan siapa.


"Aku kan, ya, gak mungkin nangis di depan anak-anak," ujarnya. Padahal aku tahu persis ada beberapa momen di mana ia pasti butuh menangis. Tapi ia tidak melakukannya. Hanya karena tuntutan sosial yang melarangnya untuk menangis.

How dystopic.


***

Dulu saya tidak boleh menangis. Tangisan saya ketika dirundung justru menjadikan saya merasa lebih lemah dan tidak berdaya. Sampai, suatu ketika, tangis saya membawa kekuatan.


Sungguh, ini cerita remeh sekali, but here goes.


Kala itu saya kelas lima Sekolah Dasar. Saya, yang memang suka membaca puisi, diikutkan lomba porseni oleh SD saya di tingkat kecamatan. Berhasil meraih juara 3, saya maju ke porseni Kabupaten.


Oleh pembina, saya diberi puisi bernuansa sedih. Pada suatu sesi latihan, saya menangis. Tidak ingat karena apa, tapi tangis saya terlimpah ketika membaca puisi. Dan... saya tidak dimarahi. Pembina saya bertepuk tangan dan menepuk punggung saya. Mereka suka karena saya... menangis?


Di situ saya merasa merdeka.


Dari sanalah Ghulam kecil belajar bahwa menangis itu boleh. Menangis itu tidak apa-apa. Dan saya tetap menjadi laki-laki. Laki-laki yang menangis.

***

Alm. Bu Nurul, guru yang sama yang mengantarkan saya latihan baca puisi, pernah mengatakan bahwa mudah menangis adalah tanda lembutnya hati. Kalau kata Lao Tzu, air adalah zat yang lembut, tapi bisa menembus kerasnya bebatuan. Pun demikian kiranya dengan air mata. Tiap tetesnya bisa menembus keras hati. Persis seperti kata Bu Nurul dulu.


Maka, untuk laki-laki di luar sana, hanya ada satu pesan yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini: menangislah. Menangislah dalam belenggu patriarkal yang menyesakkan. Menangislah hingga dirimu merdeka dari semua tekanan. Menangislah dalam hidup, jika memang itu yang kamu butuhkan untuk terus hidup. Menangislah sebagai manusia. Karena manusia, termasuk kamu dan saya, berhak menangis.




 
 
 

Comments


bottom of page