top of page
Search

Kita yang Didikte Angka-angka

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Feb 16, 2022
  • 2 min read

Istirahatlah Kata-Kata adalah judul monolog impromtu yang saya baca dalam salah satu sesi latihan teater di SMA saya dulu. Monolog ini mengisahkan tentang curahan hati seorang anak kepada ibunya mengenai betapa lelah ia dikejar-kejar oleh angka tiga dikit: satu, nol, nol. Dia ingin melepaskan diri dari "jeratan" obsesi terhadap angka-angka dan mengenal lebih jauh huruf dan bahasa. Yah, kalau diterjemahkan, itu sambatan saya yang dimasukkan jurusan IPA padahal sangat ingin masuk bahasa.


Namun sepertinya monolog yang dibuat impromtu itu bisa menjadi bahan refleksi untuk menampar diri sendiri.


Saya sejak dulu enggan membuat akun instagram, dan baru melakukannya beberapa bulan lalu untuk keperluan kuliah. Di mata saya dulu, instagram adalah tempat lifeless, di mana validasi seseorang diukur melalui jumlah like postingannya, followers akunnya, maupun jumlah komentar yang memujinya. Hidup seolah-olah hanya mengejar angka. Bedanya, kini angka tersebut tidak sesederhana satu nol-nol seperti di monolog saya, tetapi lebih banyak dan kompleks.


Semakin kita tumbuh, kita sadar bahwa angka-angka yang kita kejar semakin besar. Nol-nya semakin banyak. Nominalnya sudah tidak serendah hati satu nol-nol seperti dulu. Mereka yang mendasarkan pengakuan mereka pada angka-angka mudah juga "ditipu" dengan angka-angka. Angka-angka menjadi komoditas yang diperjual belikan. Bayangkan. Di abad 21 ini, seseorang bisa membeli pengakuan. Membeli validasi dari angka-angka yang terpampang di layar hape mereka. Jenaka sekali. Saya bahkan sempat tertawa ketika ada salah seorang kawan yang mengeluh dia kehilangan empat followers nya di instagram. Empat. Pengikut. Hla itu baru satu digit.


Masalahnya, angka ini tidak hanya menjerat persoalan nilai dan followers instagram saja. Angka juga ada di uang, salah satu penggerak hidup paling besar manusia. Yah, kalau soal ini sih daya realistis saja. Saya jadi ingat saya pernah membaca sebuah artikel di mana seorang petani muda diwawancarai seputar suka dan dukanya menjadi petani millenial. Sampai pada satu titik, si penulis iseng menanyakan pendapat petani muda tersebut mengenai slogan menanam adalah melawan. Ia menjawab enteng.


"Melawan siapa? Menanam ya cari duit lah." Saya tergelak ketika membacanya. Aduh, orang-orang yang mengejar angka ini.


Saya masih akan memposisikan diri sebagai orang yang tidak terlalu peduli akan angka-angka di sekitar saya, sampai kemarin saya mendapati diri sendiri sedang mengeluh karena angka pembaca tulisan saya jarang ada yang menyentuh dua digit.


"Hmmmmmm, tulisan yang ini yang baca sudah dua belas. Kok yang satunya masih empat melulu ya?"

 
 
 

Comments


bottom of page