Kisah Kecil di Terminal
- Pambayung
- Mar 13, 2022
- 2 min read
Cerita ini baru terjadi beberapa jam yang lalu di Terminal Purabaya Bungurasih, Surabaya. Aku kembali ke tempat yang sama sekali tidak sejuk ini untuk menyiapkan kuliahku yang sebentar lagi offline. Bus jurusan Pare-Surabaya cukup lengang sore ini. Rencanaku setelah turun dari bus cukup sederhana: cari musala, ambil uang di ATM, cari makan, lalu naik bus kota sampai kos.
Rencana itu berjalan lancar sampai bagian aku cari makan di warung terminal. Di tengah-tengah kunyahan nasi panasku, datang seorang pria muda dengan hoodie ungu dan celana kain. Setelah basa-basi sebentar, ia menanyakan tujuanku. Aku menyebutkan alamat kosku, sekaligus caraku kesana: menggunakan bis kota. Ia menyebutkan rute bus yang harus aku ambil kesana. Aku mengangguk paham.
Aku, yang socially awkward ini, mencoba mengakrabkan diri dengan membelikannya segelas kopi, tetapi ia menolak saat kutawari. "Ndak usah, Mas. Saya ojek online. Ini lagi cari penumpang." jelasnya. Ah, jelaslah sudah mengapa ia tadi menanyakan kemana tujuanku. Aku menolak dengan halus tawarannya untuk mengantarku sampai kos.
Bukannya apa. Setelah pernah "ditipu" tukang ojek yang memberi mark-up harga jauh di atas normal, aku menjadi lebih berhati-hati. Karena hal itu pula, aku jadi lebih suka naik bus kota. Selain tidak mungkin ditipu (karena busnya di bawah dishub Kota Surabaya), harga tiketnya terbilang cukup murah: lima buah sampah botol plastik.
Maka, tidak ada alasan bagiku untuk memilih ojek daripada bus.
Ia tersenyum, kemudian menjauh dari warung tempatku makan untuk menawarkan jasanya kepada yang lain. Sebentar kemudian, ponselnya berbunyi. "Ngggih, Mak?" katanya pada orang yang ada di ujung lain panggilan telepon itu. "Semua sudah aku gadaikan, Mak." ujarnya pelan menggunakan bahasa Jawa. Aku mencuri dengar pembicaraannya. "Iya, Mak. Kemarin aku ambruk juga aku paksakan ngojek. Kalau sudah agak baikan aku narik lagi, terus panas lagi." ceritanya pelan.
Aih. Hati mana yang tidak tersentuh dengan cerita itu. Aku mendekatinya. "Saya ojek Panjenengan saja, Mas." kataku. "Oh iya, Mas. Maaf ya saya telepon dulu. Tiyang sepah." ia menjelaskan. "Oh iya, Mas. Jangan diputus." jawabku. Satu dua kalimat kemudian, ia menutup teleponnya. "Tak ngeterne penumpang sek, Mak." ucapnya mantab.
Sejurus kemudian, ia mengantarku ke sepeda motornya. Tapi sebelum itu, ia memencet serangkaian nomor di ponselnya. Menelepon orang rumahnya. "Jek narik, Nda." ujarnya ke orang terkasihnya di seberang panggilan. Ia tersenyum. Menyeka air mata.
Comments