top of page
Search

Kala Gajah Bercinta

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Jan 28, 2024
  • 3 min read

ree

Ketika gajah ngeseks, rumput-rumput di bawahnya mati terinjak. Itulah yang dikatakan salah satu dosenku waktu membahas betapa destruktifnya perang: gajah bercinta saja rumput-rumput mati, apalagi ketika mereka berkelahi?


Kala itu, negara yang berperang diibaratkan sebagai gajah, dan masyarakatnya sebagai rumput. Bagaimanapun perkasanya negara berperang, pasti masyarakat yang menjadi korbannya. Tapi saya rasa kalimat itu juga cukup untuk mendeskripsikan kondisi politik negara kita saat ini: ketika gajah-gajah berkontestasi lima tahunan, rakyatnya yang babak belur. Betapa tidak? Misinformasi di sana-sini, setiap hari debat hingga mulut berbusa, bahkan antarkerabat bisa saling membenci.


Konfigurasi dan manuver para elit politik yang pindah kubu sana-sini macam kutu loncat benar-benar menunjukkan bahwa diversifikasi politik kita bukan didasarkan pada ideologi dan perbedaan pandangan terhadap suatu isu. Sebagai gantinya, pembagian kubu politik sekadar didasarkan pada pragmatisme semata: siapa yang paling punya prospek buat kepentingan diri dan partai, ya itu kubu yang dipilih. Persetan dengan ideologi, persetan dengan hati nurani. Banyak gajah yang lima tahun lalu berkelahi mati-matian tapi sekarang jadi bercinta mesra-mesraan. Pun juga banyak yang sebaliknya.


Dengan gajah-gajah munafik seperti itu, akan rugi bagi rerumputan untuk menjilati pantat mereka sampai kehilangan kerabat atau kolega. Sayang sekali kalau masyarakat membela politisi-politisi mereka seperti nabi dan memutus tali kekeluargaan dan pertemanan. Kendati benar bahwa kita harus berpihak dan memilih karena semua suara dihitung setara dalam demokrasi, tak perlu membela mereka mati-matian. Lima tahun lagi, yang sekarang menjegal boleh jadi bersalaman. Saat itu, masyarakat cuma bakal bisa nyengir kuda. Rugi dong kemarin debat berbusa-busa?


Gajah-gajah kalian itu bukan nabi. Tolong sisakan ruang bagi mereka untuk salah — dan memang beberapa telah terbukti bersalah di masa lalu. Bela seperlunya, tapi kritik sekeras-kerasnya. Bukannya ngeri kalau nanti gajah yang kalian bela benar-benar jadj raja hutan tapi yang kritik selalu diterkam? Hiii


Iya, kita semua merasa gajah yang kita bela itu paling kuat badannya, paling mengkilau gadingnya, paling lebar telinganya, atau paling panjang belalainya. Tapi lantas sejauh mana kita mau mengelu-elu mereka?


"Lho berarti tidak boleh aktif ngomongin politik?"


Poinku bukan itu, Ndes. Silakan ngomongin politik secara aktif. Malah bagus. Sendi-sendi demokrasi kita masih bergerak kalau publik masih dibolehka ngomong soal politik. Poinku adalah, jangan sampai perdebatan itu justru menimbulkan perpecahan alih-alih kontestasi yang sehat dan demokratis.


Resepku ketika diajak debat soal politik, utamanya capres, adalah (1) tanya apakah lawan debatmu sudah menentukan pilihan (2) kalau belum, lanjut ngobrol. Kalau sudah, tanya apakah ia terbuka akan informasi baru (3) kalau terbuka, lanjut ngobrol. Kalau tidak, alihkan topik menjadi bahas awan yang bentuknya seperti kelinci, atau Chelsea yang lagi-lagi kalah di pertandingan tempo hari (sad). Dengan demikian, kita akan terhindar dari buang-buang nafas dan mubadzir oksigen sebab debat politik yang nir-hasil dan cuma boros abab.


Sebagai mahasiswa FISIP, saya sedang belajar puasa. Di tahun politik seperti ini, ada diskusi soal politik di setiap belokan jalan. Sialnya, saya adalah mahasiswa FISIP. Alhasil, saya harus menahan diri untuk tidak ikut debat setiap ada obrolan bodoh (njago Prabowo, misal). Hla bagaimana? Satu-dua kali masih oke. Sehari enam belas kali mending waktunya buat marathon One Piece. Iya kalau debatnya sehat dan lawan bicaranya terbuka akan pandangan baru? Kalau tidak? Sampai bibir ini jadi se-seksi bibirnya Angelina Jolie ya ndak mempan.


Yang lebih sulit adalah ketika sudah ada perdebatan soal pro-kontra kebijakan. Sialnya, lingkar pertemanan saya kadang berada di sisi yang berbeda. Untungnya bapak ibu dosen yang baik mengajarkan bahwa suatu kebijakan bisa dilihat dari berbagai sisi. Kalau sudah begitu, saya kembali ke garis batas saya: mana yang lebih manusiawi? Soal magang merdeka, misalnya. Ada yang bilang itu bagus untuk memperkecil gap antara supply dan demand kualitas tenaga kerja. Ada juga yang bilang jelek karena payung hukumnya belum ada.


Sebisa mungkin, saya akan menahan diri untuk tidak berbicara kecuali ditanya...atau sampai ada yang mendehumanisasi pekerja magang. (Kalau di tulisan-tulisan status WA bapak-bapak, kalimat barusan pasti disertai #sikap). Jadi tolong berhati-hati dalam memilih perang cangkemmu itu di tahun-tahun politik seperti ini. Umur kita terbatas, alangkah ruginya kalau dipakai debat-debat politik ndak jelas. Iya kalau forumnya memang didedikasikan untuk itu. Kalau di obrolan-obrolan obskur pinggir jalan dengan teman bicara yang sama ndak jelasnya, wah mending jangan.


Karena kita tidak tahu apakah gajah-gajah di atas itu sedang bertengkar atau justru setelah ini bercinta dengan mesra. Tapi kita sebagai rerumputan di bawahnya sudah hampir pasti rusak terinjak-injak seperti yang sudah-sudah.


 
 
 

Comments


bottom of page