Izin Untuk Gagal
- Pambayung
- Apr 10, 2022
- 2 min read
Privilese
Salah satu kemewahan yang dimiliki oleh "orang biasa-biasa saja" seperti kita adalah betapa tidak ada ekspektasi yang dibebankan kepada kita. Orang-orang cenderung lebih mengizinkan kita untuk gagal jika dibandingkan mereka yang bukan "orang biasa-biasa saja".
Pemain sepak bola tarkam Agustusan, misalnya, akan lebih mudah dimaafkan ketika gagal mencetak gol dibandingkan atlet sepak bola klub ternama. Tidak ada ekspektasi. Tidak ada beban.
Jika kita melihat segala sesuatu seperti ini, tiba-tiba menjadi biasa pun tidak masalah. Tidak menjadi spesial, kok, rasanya tidak apa-apa.
Semakin tinggi posisi kita, semakin kita tidak diizinkan untuk gagal. Contoh kasarnya, Presiden pasti akan lebih banyak dikritik jika tidak becus memerintah jika dibandingkan dengan Pak RT. Lihat? Jadi orang yang lebih biasa dan tidak tinggi itu terkadang enak.
Mengizinkan Diri
Kembali ke persoalan izin untuk gagal. Selain diberikan oleh orang kedua, sebenarnya izin untuk gagal lebih penting diberikan kepada diri sendiri oleh diri sendiri. Jika orientasinya adalah diri sendiri, konsep izin untuk gagal ini berkaitan erat dengan kekecewaan dan zona nyaman. Biar saya jelaskan.
Katakanlah, saya mengikuti lomba menggambar. Dalam lomba tersebut saya sangat percaya diri karena hasil gambar saya bagus, garisnya tegas, warnanya cantik, dan sebagainya. Dengan modal seperti itu, saya tidak mengizinkan diri saya untuk gagal.
Akan tetapi, ternyata saya gagal. Saya sangat kecewa, karena saya merasa bahwa saya tidak boleh gagal. Setelahnya, saya kapok ikut lomba lagi. Mengikuti lomba lain berarti berhadapan dengan kemungkinan untuk gagal (lagi). Sedangkan saya tidak mengizinkan diri untuk gagal, karena saya tahu gagal itu tidak enak.
Akhirnya saya tidak lagi mengikuti perlombaan menggambar. Dengan begitu saya tidak perlu gagal lagi, menutup kemungkinan saya kecewa lagi. "Tidak ikut lomba" menjadi zona nyaman saya. Saya merasa aman dari rasa gagal ketika "tidak ikut lomba".
Saya tidak mengizinkan diri saya untuk gagal. Saya tidak mengizinkan diri saya berkemungkinan untuk gagal. Saya akhirnya menjadi orang yang medioker. Orang biasa.
Kita harus melihat bahwa kegagalan adalah proses dari menuju ketidakgagalan. Dengan begini, kita jadi lebih bisa mengizinkan diri untuk gagal. Menjadi orang biasa sekarang tidak lagi terlihat sebagai pilihan menggiurkan. Toh, menjadi orang yang tidak biasa pun tetap kita yang punya kendali penuh akan ekspektasi terhadap diri kita sendiri.
Aku boleh gagal. Persetan apa kata orang.
Gagal Ya Gagal Saja
Dengan begini, kita tidak lagi melihat kegagalan sebagai sesuatu yang tidak enak. Gagal, kok, rasanya tidak apa-apa.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah Alm. KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, sewaktu dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau tidak marah, beliau tidak kecewa. Malah, dengan kaos oblong dan celana pendek, tersenyum dan menyapa Gusdurian serta wartawan yang ada di depan istana negara.
Orang-orang yang melengserkan beliau pasti melihat bahwa beliau sudah gagal, beliau sudah jatuh. Dan memang begitu. Beliau memang sudah jatuh, tapi beliau mengizinkan diri untuk jatuh. Beliau sadar bahwa jabatan tidak perlu dipertahankan mati-matian. Karena toh, jatuh juga tidak apa-apa. Gagal juga tidak apa-apa. Ia tetap bagian dari proses.
Kita bisa, dan harus, memetik pelajaran dari peristiwa luar biasa ini. Bagaimana seorang presiden yang dilengserkan dari jabatannya, tidak menunjukkan sedikitpun rasa sedih atau kecewa, yang logikanya pasti ada jika kita yang menjalani.
Kita harus mengizinkan diri sendiri untuk gagal. Mengizinkan diri untuk jatuh. Kalau jatuh, ya, jatuh saja. Asal, jatuhlah dengan izinmu. Jatuhlah dengan bahagia.
Comments