Debur Menggulung
- Pambayung
- Mar 17, 2022
- 5 min read
“Nenek moyangku seorang pelaut,” suara wanita yang parau itu bersenandung.
"Gemar mengarung luas samudra," pelan lantunan nada wanita itu merobek fajar.
"Menerjang ombak tiada takut," wanita itu masih bernyanyi diiringi debur pantai.
"Menempuh badai sudah biasa."
Dengan selesainya lagu yang dinyanyikannya, selesai pulalah wanita itu memandikan anaknya. Dulu lahir di atas kapal pengungsi, ia diberi nama Bahari Samudra. Namun, orang-orang kampung nelayan menyebutnya dengan banyak panggilan: idiot, imbisil, dungu, gila, dan sebagainya. Namun ibunya berkata lain. Ibunya berkata bahwa sebagian dari jiwanya masih tertinggal di laut. Saat ia dilahirkan di atas kapal pengungsi, laut meminta separuh jiwanya. Hal itu yang membuatnya....spesial. Itulah dongeng yang selalu ibunya ceritakan sebelum tidur.
Kegiatan mandi pagi dan cerita sebelum tidur adalah satu dari sedikit kegiatan di mana ibunya bisa menyeka liur yang menggantung di mulutnya yang menganga dan memberi warna pada matanya yang selalu kosong. Saat itulah ibunya bisa mengalirkan cinta seorang ibu pada anaknya. Besar cinta yang kiranya Adam pada Hawa pun tidak bisa mengalahkan.
Setelah ia dikenakan baju, ibunya akan membuatkannya segelas teh, kerang laut segar, dan nasi hangat untuk ia makan sebelum matahari menjelang. Ia suka matahari. Ia suka melihatnya terbit. Baginya, matahari terbit bagaikan raksasa merah yang memanjat kaki langit, untuk kemudian bertengger di antara putih awan pagi. Namun, kalau ada sesuatu yang disukainya lebih dari ia menyukai matahari, pastilah itu laut. Bukan, bukan pantai. Ia suka laut. Ia tidak suka pantai. Menurutnya, pantai mengambil jatah laut untuk bertempat. Mengisinya dengan pasir dan bebatuan yang bikin muak.
Ia suka laut. Tidak terbatas. Jauh. Biru. Ia suka naik turun gelombangnya, aromanya, asinnya, semuanya. Karenanya, ibunya selalu mengajaknya duduk di karang besar di samping pasar ikan, tempat ibunya berjualan. Sementara ibunya berniaga, ia bisa duduk di sana berjam-jam. Memandang laut. Ia suka melihat sinar matahari yang dipantulkan sudut-sudut air. Orang biasa mungkin menganggapnya membosankan, tapi tidak dengannya. Ia suka laut.
Ia bisa duduk di karang besar selama berjam-jam. Saat anak-anak kecil pergi ke sekolah, ia duduk di sana. Saat raksasa matahari turun dari singgasananya di luas langit, ia duduk di sana. Bahkan sampai pemuda desa pergi ke surau untuk sembahyang setelah habis senja, ia masih duduk di sana. Ia menunggu malam turun. Karena pada malam hari, bagian kesukaannya dimulai.
Ia suka melihat nelayan pergi melaut. Ia suka melihat pelaut-pelaut itu mengangkat sauh dan mengembangkan layar perahu-perahu kayu mereka yang kokoh. Pergi ke laut. Ah, seandainya mereka mau dititipi permintaan untuk mengambilkan separuh jiwanya yang tertinggal di laut sana. Pernah sekali ia mendekat pada mereka, ingin menitip separuh jiwanya untuk diambilkan. Namun mereka enggan, memakinya dengan panggilan gila, dan malah menyuruhnya kembali ke karang besar tempatnya melamun.
Ia tidak suka itu. Baginya, itu bukan melamun. Ia sedang mencinta. Ia sedang berkencan dengan debur-debur ombak yang menggulung itu. Ia sedang bersenda gurau dengan gelombangnya, sedang bercumbu dengan pasang dan surutnya. Baginya, laut adalah nafas yang ia hirup pada setiap hela. Darah yang mengalir di dalam dirinya. Laut adalah detaknya. Laut adalah nadinya.
Setelah puas ia memandangi nelayan pergi melaut, ia akan kembali pulang, dijemput oleh ibunya yang sedari petang menunggui dan mengawasinya. Ibunya sudah hafal mati untuk tidak mengajaknya pulang sebelum ia puas menontoni para nelayan. Pernah sekali ia dipaksa pulang, digendong oleh ibunya yang cemas. Tak ayal ia mengamuk dan menangis sepanjang malam, dan baru berhenti saat para nelayan itu kembali dari melaut. Sejak saat itu, ibunya tidak pernah membujuknya kembali sebelum para nelayan pergi. Ia hanya menunggui dan menyuapinya makanan setiap hari.
Makanan yang sama: nasi hangat dan ikan bakar. Disuapnya dengan mata yang masih saja lekat menatap laut. Ia tak mau melewatkan apa yang sedang terjadi di laut. Ia tak mau melewatkan satu gelombang pun. Walau satu debur saja.
Pun saat pemuda desa mengabarinya ibunya telah tiada pada suatu sore itu. Ia tetap bergeming. Memandang laut. Memandang gelombang. Ia tidak paham dengan cerita para pemuda desa yang mengatakan bahwa ibunya mati karena paru-paru basah, hasil dari menungguinya di karang besar setiap malam. Tidakkah mereka mengerti? Laut hanya mengambil jiwa ibunya. Ibunya tidak mati. Jiwanya hanya kembali ke laut. Ke tempat yang dicintainya. Dan ia tetap bergeming di karang besar. Tidak peduli dengan cacian pemuda desa yang memanggilnya gila karena tidak mau mengikuti prosesi upacara kematian ibunya.
Menurut tradisi, jasad ibunya akan diletakkan di atas perahu kayu, ditaburi dengan pasir pantai, ditutup dengan dedaunan dan pelepah nyiur, lalu dihanyutkan ke laut. Perahu ini harus disentuh oleh setidaknya satu anggota keluarga yang ditinggalkan. Tidak boleh ada satu perahu nelayan pun yang meninggalkan pantai sebelum upacara ini selesai dan perahu kayu itu dihanyutkan. Kalau tidak, satu kampung akan tertimpa musibah besar. Sebagai keluarga pengungsi, hanya ialah satu-satunya keluarga yang dimiliki ibunya. Tapi ia tetap bergeming di karang besar. Menurut tradisi, anggota keluarga tidak boleh dipaksa untuk menyentuh perahu tersebut, melainkan harus dengan keinginannya sendiri.
Maka jadilah satu kampung berkumpul di dekat karang besar. Mencoba membujuknya untuk mengikuti upacara kematian ibunya. Tapi ia tetap tidak bergeming. Seakan tuli terhadap teriakan warga kampung yang mengutukinya. Biarpun begitu, tidak ada yang berani menyentuh atau memindahkannya dengan paksa, karena takut akan melawan tradisi.
Hingga tibalah saat biasanya ia dijemput pulang oleh ibunya. Ia melihat sekelilingnya, mencoba mencari wanita yang setiap hari menjemputnya pulang. Para warga sudah pulang ke rumah masing-masing, sebagian lelah menunggunya mematung, sebagian yang lain takut akan musibah yang diramalkan akan menimpa mereka. Tidak ada nelayan yang berani berlayar malam itu. ia berjalan menyusuri pantai. Mengabsen setiap perahu yang biasanya sudah melaut. Namun ada satu perahu yang tidak biasanya ada. Perahu kecil dengan kayu yang tidak sekokoh perahu lain. Ia mendekat dan naik perahu itu.
Menyibak dedaunan nyiur, ia mendapati tubuh ibunya yang tak bernyawa. Laut telah mengambil jiwanya. Mengambil hangat dari raga perempuan yang memberi makan dan memandikannya. Jiwa ibunya telah kembali ke laut. Ke tempat separuh jiwanya tertinggal saat ia dilahirkan. Ia menyentuhi wajah ibunya. Merasakan dingin laut yang merenggut jiwa ibunya. Ia mengecupi tangan yang setiap hari memandikannya. Ia memandangi bibir indah yang setiap malam membacakannya dongeng sebelum tidur. Ia mengambil kalung yang dipakai ibunya sejak dulu. Sebuah tanggal terukir di bagian belakang liontin berbentuk hati itu. Liontin yang bisa dibuka. Yang di dalamnya terdapat foto hitam putih dengan dua orang yang tersenyum mesra.
Lalu badai kesadaran menyambar benaknya.
Mungkin selama ini ia tidak mencintai laut. Ia mencintai ibunya yang ada di laut. Jiwa yang diceritakan tertinggal di laut mungkin bukan miliknya, melainkan milik ibunya. Jiwa seorang perempuan yang kehilangan suaminya. Suami yang mengorbankan diri, agar kapal pengungsi yang dinaiki istrinya yang sedang mengandung tidak kelebihan muatan. Selama ini ia memandangi laut bukan karena ingin mengambil jiwanya sendiri, melainkan rindu jiwa ibunya. Jiwa seorang istri yang tertinggal bersama suaminya yang tenggelam.
Dengan ini, seluruh jiwa dan raga ibunya akan kembali pada laut. Rindu dan cinta ibunya telah sempurna. Ia tidak menangis. Tidak pula ia ingin melihat laut. Ia ingin menjadi laut itu sendiri. Ia ingin moksa bersama debur yang menggulung jiwa ibunya selama ini. Ia ingin menjadi tempat ibunya kembali.
"Angin bertiup layar terkembang," suaranya yang parau bersenandung.
"Ombak berdebur di tepi pantai," pelan lantunan nadanya merobek malam.
"Pemuda berani bangkit sekarang," ia masih bernyanyi diiringi debur pantai.
"Ke laut kita beramai-ramai."
gilaaa kerenn poll!! pas aku baca bagian terakhir aku merindinggg🥲💩
BAGUS BANGET YA YESUS