top of page
Search

Dasar Anak Kabupaten!

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Apr 6, 2024
  • 3 min read

Malam ini saya mudik. Mudik berasal dari kata me(n)-udik, atau menuju kampung (udik). Setelah menempuh hujan dari Sidoarjo hingga Jombang, saya sampai di Kediri, secara resmi menanggalkan identitas saya sebagai mahasiswa kota besar, kembali menapak tanah dan rumput pedesaan (yang ini rumputnya asli, tidak sintetis seperti di kampus). Saya akan selalu menganggap desa dan kabupaten saya di Kediri sebagai rumah. Sejauh apapun saya pergi darinya. Tapi di tanah inilah saya dibesarkan, dan di tanah inilah saya akan kembali.


Sayangnya, ungkapan "Anak Kabupaten" kini justru lebih sering dikatakan dalam langgam derogatoris, sebagai cemooh kepada anak-anak yang dianggap norak dan gagap modernitas. Kampungan, kurang lebih.


Ah untuk penjelasan aspek budaya dan simbol bahasa, biar jadi pembahasan lain waktu. Mungkin bakal dibahas Ghulam versi mahasiswa. Kan sekarang yang ada adalah Ghulam versi anak desa. Maka biarkan topik ini dijelaskan melalui kacamata lugunya yang tumbuh, secara harfiah, sebagai anak kabupaten.


Tidak ada salahnya menjadi anak kabupaten. Justru, telah hidup di desa dan kota, saya menemukan banyak sekali hal-hal berharga di desa yang tidak bisa saya temui di kota.


Di desa saya, saya mengenal hampir semua orang dari ujung jalan hingga ujung satunya lagi. Mayoritas dari mereka bahkan punya hubungan darah dengan saya, baik dekat maupun jauh. Interaksi kami tidak sebatas pada level sosial. Bahkan beberapa dari kami mengenal dekat kebiasaan satu sama lain. Siapa yang biasanya tidak bisa makan daging sewaktu kenduri, anak siapa yang setelah ini masuk SD, dan lain sebagainya. Kalau meminjam istilah Ferdinand Tonnies, bentuk masyarakatnya itu gemeinschaft.


Tidak hanya saling mengenal, kami juga berbagi rasa kepemilikan terhadap komunitas dan orang-orang di dalamnya. Kami berbagi banyak hal. Jika ada yang panen singkong, misalnya, hampir bisa dipastikan tetangga kanan kiri akan dapat satu dua biji. Jika sedang ada hajatan, kerabat dan tetangga satu RT akan berbondong-bondong membantu dalam rewangan. Kemesraan-kemesraan seperti itu yang tidak saya jumpai ketika ngekos di Surabaya.


Kami juga menjalani hidup dengan sangat pelan. Tidak seperti orang kota yang selalu punya sesuatu untuk dilakukan, tempat untuk dituju, atau rapat untuk dihadiri, kami memiliki waktu yang sangat longgar untuk sekadar bercakap dengan tetangga ketika berpapasan hendak membeli sayur atau memupuk padi.


Karena kesederhanaan-kesederhanaan itulah, kebahagiaan kami juga bersahaja. Lakon wayang, orkes dangdut, atau jaranan dapat menjamin kegembiraan masyarakat sekaligus memutar roda perekonomian penjual di sekitar lingkungan desa. Kalau itu terlalu muluk, sekadar bercengkerama dengan tetangga di pematang sawah atau memberi makan ayam peliharaan menjadi rutinitas menggembirakan yang dijalankan dengan khusyu setiap harinya. Kegembiraan-kegembiraan yang sederhana ini menjadi kunci resiliensi masyarakat kala krisis melanda. Betapa tidak? bioskop dan mall terdekat 20km letaknya. Menggantungkan hiburan pada mereka sama saja dengan sengaja memilih kesedihan.


Dalam memandang hidup dan kekayaan, masyarakat desa tidak menempatkan ambisi materialistik sebagai sesuatu yang sangat penting. Bekerja sekenanya, membajak sawah ketika cerah dan mengasah cangkul ketika hujan. Menjemur gabah ketika siang dan bercengkerama dengan keluarga di waktu malam. Hidup selaras dengan alam. Bukan melawan apalagi mengeksploitasinya. Tidak ada tekanan lembur, hanya berharap esok pagi jagung mereka tumbuh subur. Konstruksi sosial yang sedemikian rupa membuat masyarakat desa dapat menjaga dengan baik nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Nilai-nilai seperti individualitas dan materialisme tidak populer sebab mereka masih menjaga kultur tepa selira dan nrima ing pandum. Tidak muluk-muluk. Jauh dari hiruk pikuk industri kapitalistik, riweuh-riweuh politik, dan twitwar problematik.


Tapi kesederhanaan-kesederhanaan itu bukan berarti keterbelakangan. Salah satu guru SD saya, Almh. Ibu Nurul, pernah berpesan untuk tetap menjadi orang kampung, tetapi jangan sampai menjadi orang kampungan. Terbuka kepada pengetahuan dan teknologi baru. Selalu mau belajar. Dan jangan gampang nggumun. Jangan suka heran dengan apa yang ada di kota. Maka percayalah, masyarakat kabupaten sejatinya jauh-jauh lebih hebat — utamanya dalam tatanan sosial, kultivasi nilai, dan resiliensi.


Selamat meng-udik, teman-teman kabupatenku. Dan ingat! Wayahe wong kabupaten tampil~😎

 
 
 

Comments


bottom of page