Aku Benci Melihatmu Telanjang
- Pambayung
- Dec 28, 2022
- 2 min read

Sudah jadi rahasia umum bahwa ekosistem jurnalistik di Indonesia sedang tidak dalam kondisinya yang paling prima. Idealnya, jurnalisme yang memihak publik dengan memenuhi hak mereka atas akses informasi, justru menjadi corong suara untuk pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Yang lebih parah, masalah-masalah tersebut merupakan masalah laten yang belum banyak diketahui dan ditutup-tutupi, baik oleh sistem yang bobrok maupun justifikasi-justifikasi yang diberikan oleh wartawan-wartawannya sendiri.
Kurang lebih, itulah premis yang dibawa oleh buku Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan. Buku setebal 266 halaman ini ditulis oleh Rusdi Mathari, eks wartawan majalah Tempo. Melalui buku ini, Cak Rusdi menelanjangi tubuh ringkih ekosistem media dan jurnalisme di Indonesia, bidang yang sudah ia geluti selama lebih dari 25 tahun - sebagaimana yang tertulis pada sampul belakang buku ini. Terdapat empat bab penuh "daging" dalam buku ini. Setiap babnya mengupas unsur-unsur jurnalistik yang berbeda, melalui berbagai studi kasus yang menarik. Tulisan-tulisannya dalam buku ini merupakan tulisan reaktif terhadap dinamika dunia jurnalistik yang pernah beliau unggah di Facebook dan rusdimathari.com, blog pribadi Cak Rusdi.
Buku ini saya beli karena saya memang tertarik di bidang jurnalisme. Bab pertama buku ini, yang sebagian besar membahas prestasi wartawan dan dampaknya yang besar terhadap dunia sosial, tentunya membuat diri saya semakin jatuh suka. Tulisan-tulisan awal di buku ini mengingatkan saya pada Claire Rewcastle Brown, seorang jurnalis yang berhasil mengungkap korupsi Sovereign Wealth Fund Malaysia 1MDB, dan membuat PM Malaysia saat itu, Najib Razak, akhirnya dipidanakan.
Celakanya, romantisasi saya terhadap jurnalisme berumur pendek. Pada bab kedua, ketiga, dan keempat, Cak Rusdi dengan detil telah menelanjangi dunia kewartawanan Indonesia, memperlihatkan cacat dan bobroknya yang menjijikkan: bagaimana media berdiri di atas kepentingan tertentu, bagaimana wartawan membuat berita palsu, bagaimana media digital yang minim martabat, hingga bagaimana wartawan mendapat kesulitan untuk mengakses hak-hak mereka sebagai buruh.
Aduh biyung. Perasaan kagum dan bangga semakin tergantikan oleh kemirisan seiring dengan halaman demi halaman yang kubaca. Lewat bab kedua hingga empat, Cak Rusdi melucuti zirah kebanggaan jurnalisme yang selama ini digaungkan, menyisakan borok-borok yang ia kupas pelan-pelan dan menyakitkan.
Buku ini menjadi cerminan pribadi Cak Rusdi yang berwawasan luas dan berintegritas. Dari buku ini, kita bisa melihat bagaimana wartawan seharusnya bekerja, dibandingkan dengan bagaimana wartawan sebenarnya bekerja di lapangan. Studi kasus yang dibahas juga akan membuka horizon pengetahuan baru bagi pembaca, karena Cak Rusdi tidak hanya menghadirkan kasus-kasus dalam negeri, melainkan juga menunjukkan wajah jurnalistik dunia, yang juga ndak elok-elok amat.
Buku ini sungguh berbobot. Rasanya, orang-orang yang tidak paham mengenai dunia jurnalistik-pun akan tetap menikmati setiap pembahasan yang dihadirkan. Gaya tulisan Cak Rusdi yang lugas dan khas membuat pembaca dapat dengan mudah memahami pembahasan yang lumayan ndakik-ndakik.
Buku ini cocok dibaca oleh orang-orang yang ingin menjadi wartawan, agar mempertimbangkan kembali pilihan karir mereka. Yakin mau hidup sebagai wartawan?
Kalau saya, sih, jadi ragu setelah membaca buku ini. Heheheh.
Comments