Agama Kita Sama, Tapi Kok Tuhanmu Menakutkan, Ya?
- Pambayung
- Sep 22, 2022
- 3 min read
Kalimat yang saya buat judul di atas adalah perkataan salah satu teman saya dalam suatu sesi ngobrol kami. Dia sedang bercerita bahwa dirinya mendapatkan judgement negatif dari masyarakat disekitarnya.
Pasalnya sederhana: ia tidak berjilbab.
Dari situ, orang-orang mendakwanya sebagai pribadi yang kurang agamis. Padahal setahuku dia taat sembayang dan berpuasa sama seperti pemeluk agama kami yang lain. Tapi "hanya" karena ia tidak menutupi rambutnya dengan kain, ia langsung didakwa sebagai makhluk penuh dosa yang sudah pasti mengamankan tiket sekali jalan langsung ke neraka.
Saya teringat kisah di atas karena kehebohan yang terjadi beberapa waktu lalu. Suatu kanal YouTube mengunggah video berisi "dakwah" dengan cara memaksa orang-orang di Jalan Malioboro untuk berjilbab.
Terlihat seorang perempuan berjilbab panjang mendekati perempuan-perempuan lain untuk menyuruh mereka mengenakan jilbab. Perempuan-perempuan yang mengaku dirinya beragama lain, tetap dipaksa memakai jilbab dengan dalih "toleransi".
Sudah barang tentu aksi tersebut menuai kontroversi. Banyak pihak menuding si pengunggah video cuma memanfaatkan agama untuk cari sensasi dan popularitas. Netizen juga menyayangkan, bahkan mengecam, aksi pemaksaan di video tersebut karena berpotensi memberikan citra buruk pada agama Islam.
***
Jilbab sebenarnya merupakan instrumen yang dimanfaatkan kaum perempuan Muslim untuk menunaikan kewajiban menutup rambut sebagai aurat. Di Indonesia, pemandangan orang-orang yang memakai jilbab merupakan hal biasa. Tidak mengherankan, karena Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Ruang publik di Indonesia hampir selalu dipenuhi orang-orang berjilbab. Dan itu sah-sah saja. Yang menjadi masalah adalah ketika ada pihak-pihak yang memaksakan ruang publik untuk berjilbab. Dua hal ini berbeda dan berseberangan jauh sekali.
Berjilbab di ruang publik itu tidak apa-apa. Yang tidak boleh adalah menjilbabi ruang publik itu sendiri. Begitu kurang lebih dhawuh dosen favorit saya.
Hal ini disebabkan oleh latar belakang demografi masyarakat Indonesia sendiri yang beragam. Ada agama-agama dan kepercayaan lain yang hidup berdampingan dengan Muslim di Indonesia. Meskipun agama Islam merupakan mayoritas, kita tidak serta merta bisa "mengislamkan" praktik bermasyarakat di Indonesia.
Ha ya tentu karena Indonesia bukan negara Khilafah dan tidak pernah didesain untuk menjadi negara seperti itu.
***
Kalau mau bicara ndakik-ndakik, pemaksaan jilbab justru mendevaluasi nilai-nilai yang dibawa jilbab itu sendiri. Tidak ada lagi nilai keikhlasan, kesalehan, dan komitmen jika jilbab dipakai dalam keterpaksaan. Jika demikian, jilbab tak ubahnya selembar kain yang menutup kepala. Itu saja. Di pengadilan, misalnya, tersangka yang diadili biasanya menggunakan jilbab sebagai "alat" agar hakim memandangnya sebagai orang yang "berkelakuan baik" sehingga mendapat keringanan.
Nilai-nilai yang mengonstruksikan jilbab sebagai simbol kebaikan, jauh lebih besar dari bentuk fisik jilbab itu sendiri. Jilbab menjadi konstruksi sosial dan kelaziman, di mana ia merepresentasikan bahwa si pemakai adalah orang yang baik. Tapi tidak serta merta yang tidak berjilbab itu orang tidak baik, bukan?
Ambil contoh para perempuan tangguh yang bekerja sebagai petani di sawah belakang rumah saya. Jika mereka memakai jibab panjang besar saat matun di sawah, ha ya ndak kuat boskuhh. Selain gerah, jilbab panjang impraktikal untuk dipakai bercocok tanam di sawah. Biasanya mereka akan memakai iket dan caping, sesuai kebutuhan mereka sebagai petani.
Apakah dengan tidak memakai jilbab ketika bertani lantas membuat mereka menjadi muslimah yang kurang taat? Kan tidak.
***
Dalam Islam, yang membedakan ranking manusia satu dengan lainnya adalah seberapa taqwa ia kepada Allah. Dan ketaqwaan ini tidak hanya diukur dari jilbab saja. Masih banyak parameter yang lain.
Toh, terdapat cerita terkenal yang menyebutkan bahwa ada pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing. Mata manusia hanya akan melihat sisinya sebagai pelacur. Tapi Tuhan Yang Maha Welas Asih melihat nilai-nilai compassion di sana.
Agama Islam yang diperkenalkan kepada saya adalah agama yang ramah, bahagia, dan membawa rahmat bagi semesta alam. Bukan agama yang saklek dan sedikit-sedikit neraka. Kalau "sekadar" ndak pakai jilbab saja langsung dihukumi neraka, betapa banyak dosa lain yang lebih besar yang dan lebih berat luput dari pembahasan kita sehari-hari?
Menilai baik dan buruk seseorang itu bukan kedaulatan kita. Itu sudah di luar yurisdiksi manusia sebagai makhluk. Biarlah itu menjadi urusan Tuhan. Repot kalau semua diurusi dan dihakimi manusia.
Lha wong bertuhan pada Yang Maha Menghakimi kok masih suka main hakim sendiri.
Comments