top of page
Search

Abimanyu

  • Writer: Pambayung
    Pambayung
  • Jun 27, 2023
  • 3 min read

ree


Abimanyu dan Bapaknya

Abimanyu tumbuh di balik bayang-bayang bapaknya. Siapa yang tidak kenal Arjuna? Nama besar anak tengah Pandawa itu membuatnya jengah. Arjuna tak ubahnya pohon beringin yang besar digdayanya justru mengerdilkan tanaman-tanaman di bawahnya karena tidak mendapat sinar matahari. Tapi ia sudah muak. Di Bharatayuddha ini, Abimanyu akan membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar "Anak Arjuna".


Di bawah bentangan langit Kurukshetra, ia melihat formasi perang Cakrabyuha. Bima, Arjuna, dan Kresna yang biasanya menjadi strategis dan memecahkan formasi tempur Kurawa, sedang tidak ada di tempat. Jadilah ia seorang yang harus menembus formasi mematikan dari Drona itu.


Berkat kesaktiannya, dikisahkan dalam Mahabharata bahwa Abimanyu sudah bisa mendengar percakapan antara ibu dan ayahnya sejak dalam rahim. Ketika Abimanyu di dalam kandungan Subadra, Arjuna sebenarnya telah mengisahkan ikhwal formasi tempur Cakrabyuha pada istrinya itu. Namun sayang, Subadra tertidur sebelum Arjuna menceritakan cara keluar dari formasi mematikan tersebut. Hasilnya, Abimanyu hanya mendengar cara masuk formasi Cakrabyuha, bukan cara keluar.


Tapi apa boleh buat. Hari ini, hanya ia yang bisa diandalkan untuk menembus formasi tempur Kurawa itu. Meski tak mendapat restu dari sang Ayah, Abimanyu tetap maju dan masuk formasi Cakrabyuha. Ia ingin membuktikan diri.


Namun sial, padi ditanam tumbuh ilalang. Abimanyu mati setelah tak bisa keluar dari formasi Cakrabyuha. Kendati meregang nyawa, ada satu hal yang tetap ia pegang sampai mati: Ia adalah dirinya. Bukan anak ayahnya. Ia adalah Abimanyu, pahlawan muda yang mati dengan tragis di Kurukshetra. Bukan sekadar "Abimanyu anak Arjuna".



ree


Abimanyu dan Republik Kita

Ada satu hal penting yang diajarkan oleh Abimanyu soal privilise. Bagaimana Abimanyu mempersoalkan predikat yang disematkan kepada dirinya: Anak Arjuna. Ia tidak serta merta menerima nama besar ayahnya diberikan kepadanya secara cuma-cuma. Alih-alih memanfaatkan, ia justru ingin terlepas dari nama besar bapaknya. Ia ingin tumbuh sendiri, bukan dibonsai dalam bayang-bayang nasab yang menentukan nasibnya.


Sayangnya, dewasa ini Abimanyu mulai jarang ditemui di dalam jiwa kawula muda. Alih-alih merasa risih dengan bayang-bayang nama besar "orang tua", orang-orang justru memanfaatkan hal tersebut demi kepentingan mereka sendiri. Frasa "orang tua" saya beri tanda petik karena bentuknya bisa macam-macam; polanya, mereka memanfaatkan kekuatan demi mendapatkan akses yang tidak bisa didapatkan orang pada umumnya. Bahasa kerennya: orang dalam. Mau masuk sekolah favorit, pakai orang dalam. Lanjut kuliah, jalur orang dalam. Nanti masuk kerja juga ada orang dalam. Jangan-jangan mati masuk neraka juga lewat orang dalam.


Makanya sekarang ada istilah Nepo Baby: orang-orang yang dapat privilise karena orang tuanya berpengaruh.


Bangsatnya adalah ketika para nepo baby ini ada di ranah politik praktis. Mampus. Yang duduk di kursi pengambil kebijakan bukan mereka yang mampu dan kompeten, tapi para bayi nepotisme yang dapet kuasa gara-gara bapak-mbok nya berkuasa juga. Tidak usah tutup mata, sudah jadi rahasia umum kalau banyak politikus yang sering muncul di layar televisi kita juga nepo baby.


Ah, biarkan saya berkisah sedikit tentang masa SMA saya. Kala itu mendekati pemilukada. Di depan sekolah saya, sudah terpampang baliho para calon bupati dengan berbagai macam warna. Eh tiba-tiba suatu hari semua balihonya hilang. Diganti baliho calon out of nowhere berwarna merah yang tiba-tiba datang entah dari mana. Eh usut punya usut, dia ternyata anaknya Sekretaris Kabinet Republik ini. Ahihihihi.


Oh dan calon yang mak bedunduk tiba-tiba ada itu kok ndilalah nyalonnya bareng pas kabupatenku mau bangun bandara. Eh tapi itu ndak ada hubungannya, kan? Kan? Hehehe.


Oke, kembali ke Abimanyu.


Kisah Abimanyu seharusnya mengajarkan kepada kita bahwa nasib tidak boleh ditentukan nasab. Bahwa nepotisme adalah sesuatu yang memalukan. Bahwa dalam sistem Republik, kekuasaan diberikan kepada rakyat yang mampu, bukan bayi-bayi nepotisme yang mendapat kekuasaan dari bapak-ibunya.


Bahwa bangsa Indonesia menolak monarki dan oligarki; menempatkan rakyat sebagai pemilik sah republik ini; untuk kemudian mempercayakannya kepada mereka yang mampu dan berhak – bukan para pangeran atas dasar golongan darah; bukan pula para pencoleng dan pencuri.


Maka, berkaca dari cerita Abimanyu, sudah republikkah kita hari ini?



 
 
 

Comments


bottom of page