Mu
- Pambayung
- Apr 16, 2023
- 3 min read
Tulisan ini tidak akan dipromosikan di instagram, whatsapp, atau manapun. Seperti beberapa catatan kecil yang lain, saya menulis ini agar saya bisa membacanya di kemudian hari, dan tulisan ini bisa menggores ingatan saya. Jadi, kalau kamu bertemu dengan tulisan kecil ini, yakinlah ada peran takdir yang membawamu kesini.
***
Baru kemarin saya membuat tulisan tentang rumah dan perjalanan pulang. Siapa yang tahu bahwa tulisan itu ternyata menjelma doa dan dikabulkan esoknya menuju senja.
Beberapa bulan ini saya merasa sendiri. Kalau saya pikir-pikir, memang begitulah saya bertumbuh. Tanpa banyak teman yang benar-benar bisa saya percaya, tanpa rumah untuk bercerita. Tapi toh tak mengapa. Toh sedari kecil saya terbiasa dengan kesendirian: membaca novel sendiri, bermain gim sendiri, menulis sendiri, dan lain sebagainya.
Tapi perpisahan dan pertemuan saya dengan beberapa orang menyadarkan saya bahwa ternyata, setelah semua ini, saya tetap butuh orang lain yang bisa saya percaya. Saya butuh tempat kembali. Rumah.
Beberapa hari - bahkan bulan- belakangan ini membuat perasaan itu semakin kentara. Pun peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya: penolakan, kegagalan, denial, kehilangan, kekecewaan, kekosongan, target yang tidak tercapai, tidak percaya diri, merasa jauh dengan Tuhan, kemunafikan, kemalasan, kesombongan, dan... kesendirian.
Khusus yang terakhir, saya takut. Takut sekali.
Dalam keadaan buruk, rasa kesendirian bisa mendorongmu melakukan hal-hal yang lebih buruk. Jauh lebih buruk. Dan karena itu saya takut.
Ketakutan saya menjadi semakin besar seiring dengan malam-malam yang saya habiskan sendirian untuk menangis. Setiap tetes air mata yang jatuh. Setiap suara yang menyalak di kepala.
Dalam keadaan seperti itu, karena saya tidak (lagi) punya tempat untuk bercerita, yang bisa saya lakukan hanya berdoa. Doa yang sederhana: Wahai Dzat yang Membolak-balikkan Hati, tetapkanlah hatiku padaMu.
Dan, sore ini, setelah siang tadi saya membaca doa itu, hal menakjubkan terjadi.
Lihat, di Bulan Ramadan ini, saya merasa jauh sekali dengan Sang Pencipta. Jika dibandingkan dengan kawan-kawan yang lain, pun juga apa yang saya lakukan di bulan-bulan Ramadan sebelumnya, saya merasa menyia-nyiakan banyak sekali waktu di Ramadan kali ini.
Tapi, bangsatnya, ego saya tetap punya pembelaan. Ah, Tuhan, kan, tidak melihat manusia dari ibadahnya saja. Dan, toh, ibadah tidak sesempit itu. Banyak hal yang bisa dihitung ibadah, kan?
Lihat seberapa munafiknya saya? Pendosa yang tahu dirinya berdosa tapi mati enggan mengakuinya.
Maka, di salah satu waktu pikiran saya ada pada tempat yang tepat, saya mendapati diri sedang mengaji. Dengan hati yang masih kalut dan perasaan yang tetap sendiri. Di suatu halaman, saya menemui ayat yang familiar dibaca ketika RT saya di rumah mengadakan pembacaan tahlil.
Ar-Ra'd: 28. Penasaran, saya melihat artinya.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
Habis saya menangis dibuatnya. Pertama, betapa itu menjadi jawaban Tuhan atas doa-doa saya tentang kesendirian. Kedua, betapa Tuhan masih mengurus saya yang berdosa ini, dengan mengatur sekuens kejadian sedemikian rupa, sehingga membawa saya kepada takdir di tempat dan waktu yang sangat spesifik ini.
Begini, saya sebenarnya memiliki target untuk menuntaskan bacaan saya satu bulan ini. Tapi banyak alasan menyulitkan saya - termasuk rasa malas dari saya sendiri. Hal itu membuat saya bimbang. Antara saya ingin melanjutkan membaca tanpa rasa ikhlas demi gengsi itu, atau membaca dengan alur waktu yang sesuai bagi saya meski, mungkin, target itu tidak tercapai.
Nah, kegundahan itu ternyata juga terjawab dengan ayat tadi.
Dengan ayat ini, dua masalah saya selesai sekaligus. Pertama, Tuhan seakan merestui saya untuk membaca dengan alur waktu yang saya nyaman. Dia mempertemukan saya dengan ayat ini di waktu yang paling tepat. Jika saya tidak menunda-nunda, seharusnya ayat tersebut sudah saya baca dari kemarin-kemarin, dan mungkin lewat begitu saja. Tapi tidak. Tuhan berkehendak saya membacanya sore ini. Dalam keadaan yang serba gundah dan hati yang kacau.
Kedua, Tuhan memperlihatkan pada saya bahwa, se-sendiri apapun saya, Tuhan tetap ada untuk mengurusi hamba-hamba-Nya. Termasuk yang paling berdosa sekalipun. Betapa Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Tuhan sampai-sampai Dia tetap menghendaki menjadi tempat pulang bagi hamba-hamba-Nya - sekotor apapun dia.
Ah, memang, di tangan Tuhan, segalanya tepat waktu. Dan Dia adalah sebenar-benar tempat kembali.
Comments